10. Edward Lee

Mulai dari awal
                                    

Wajah yang beraura lembut itu sejak awal memang menyita perhatian Tunas Muda. Terlebih lagi fakta bahwa darah campuran dari ayahnya Korea menikahi wanita berdarah Amerika-Indonesia.

Juga fakta bahwa, Edo bervibes layaknya pemeran utama drakor yang berkarakter lemah penuh pesona. Lucia dan Helena saja sempat nyatakan cinta padanya saat MOS.

"Ini nih, si orang Korea asli. Jangan berantem dan halunya ketinggian kalian berdua. BTW, dia lagi nyari siapa?" Naura melirik Helena dan Lucia, lalu berhenti pada wajah Mira yang datar, dengan tatapan dalam.

"Mir, bisa bicara sebentar?" suara lembut itu mampu melebarkan mata ketiga sahabat Mira.

"Mereka sahabat gue, dan Edo sahabat kecil gue. Sorry, gue berhutang cerita ke kalian bertiga. Gue cuman gak enak kalo harus mihak salah satu. Gue juga gak enak sama Edo kalo nyomblangin dua sahabat gue ke dia."

Detik ini, baik wajah Lucia, Helena dan Naura tak ada yang tak menoleh ke Mira minta penjelasan. Semuanya memang tak tahu, bahwa dulu pria ini sahabat kecilnya Mira.

"Edo sahabat lo? Lo sembunyiin fakta, Mir," spontan Naura yang membuat Mira acungkan dua jari dengan senyuman, meminta pengampunan.

"Jangan pergi, please." Mira memegang lengan Naura, memohon tak meninggalkannya.

Naura hanya embuskan napas panjang, melepaskan tangan Mira sebelum menyusul Helena dan Lucia yang sudah lebih dulu pergi ke cafetaria dengan ekpresi tak bisa dijelaskan. Naura meninggalkan Mira yang kini berhadapan dengan sahabat kecilnya dulu.

"Mir, bisa bicara sebentar?"

Mira meninggikan alis. "Okey."

Pria bernama Edward Lee itu berjalan mendahului, menuju salah satu bangku di pinggir lapangan tengah. Pria blesteran itu duduk lebih dulu, mengulas senyum menatap Mira, sembari menyodorkan minuman kesukaan gadis ini.

Minuman itu diterima, diminum begitu Mira duduk di sebelah Edo.

"Udah lama ya, kita gak duduk bareng gini?"

"Lidah lo masi fasih bahasa Indo. Gue kira lo gak bakal balik lagi ke sini. Kenapa balik gak kabar-kabar? Sekarang lo tinggal dimana?"

"Gak jauh dari sini. Kapan-kapan maen aja ke rumah."

Edo tersenyum. Senyum di wajah kalem bersuara sama kalemnya inilah yang ikut andil dalam memperbanyak cewek Tunas Muda yang menyukai pria ini.

Ekor mata Mira melihat semuanya. Mata-mata yang memandang ke arah keduanya saat ini dengan sorot penuh tanya dan cemburu. Rupanya, cewek-cewek Tunas Muda mengagumi Edo layaknya aktor drakor kesukaannya. Sama seperti Helena dan Lucia.

"Gimana sekolah di Korea? Kayanya lo betah di Indo ketimbang di Korea."

"Bener." Edo menjeda dengan menoleh ke arah Mira.

"Disana gak ada yang bisa jailin kaya kamu jailin aku, dan bikin tertawa lepas. Kamu tau, temen-temenku mandang aku orang gila pas denger aku ketawa lepas pas inget kamu ngompol di kelas."

"Anjir!" spontan Mira. "Gak bisa apa, lo ingetnya yang bagus-bagus gitu ke gue?" tambah Mira dengan decakan kesal, tapi masih tersenyum. Sejak kecil, Mira tahu benar bagaimana harus berhadapan dengan pria sensitif ini.

"Kamu emang setakut itu sama Sadajo?"

"Sadako, Do," spontan Mira dengan nada kesal yang membuat Edo tertawa. Pada pria berhati lembut ini, mengerti apa yang harus dilakukan merupakan kebiasaan Mira.

"Ini yang aku kangenin sama Indonesia, sama kamu juga." Edo bermata aneh, tak bisa dijelaskan. Dia menoleh dengan wajah serius. "Aku suka kamu, Mir," tambah pria itu.

Mendengarnya, kontan membuat Mira tercekat. Otaknya bagai terhenti sesaat untuk mencerna kalimat Edo. Kenapa dari sekian banyak pengagum Edo, harus Mira yang menarik perhatiannya?

"Aku balik ke sini karena pengen ketemu lagi sama kamu. Aku gak peduli gimana kamu saat ini. Kamu pacarnya sapa, aku gak peduli."

Getar telepon yang tak segera terangkat ini menggugah Mira. Mira terkesiap, perlahan dia mengangkat panggilan telepon dari Anggara.

"Dimana?"

Suara tegas dari sambungan telepon ini segera mampu membuat mata Mira tertuju pada pria yang tengah berdiri mematung tak jauh dari bangku ini.

"Di sini," jawab Mira dengan lambaian tangan kirinya.

"Aku denger semuanya. Kita ke cafetaria sekarang."

Anggara mematikan telepon sepihak. Pria itu berjalan begitu saja menuju cafetaria. Sendirian, tanpa kawan. Entah kemana perginya para sahabat yang biasa bersamanya. Entah sejak kapan pula Anggara menjadi pria pencemburu seperti ini.

Gadis ini menoleh ke arah Edo. "Do. Semuanya udah berubah. Tapi bagi gue, sahabat itu tetaplah sahabat. Gue mau, kita gak ngerubah itu. Sorry, gue pergi dulu."

Mira meninggalkan Edo begitu saja dalam wajah yang tak bisa dijelaskan. Mungkin antara kecewa dan merasa usahanya selama ini sia-sia. Yang jelas, wajah kalem itu menatap Mira lekat seolah tanpa kedip.

***

Throw a diceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang