90 • Samudra Tidak Tahu Dia Lautan Yang Tidak Siap Akan Bencananya

1.5K 186 27
                                    

"IBU TOLOL!

"Anak-anak bodoh karena ibunya!

"Saya malu tau, gak?!"

Makian itu tidak pernah berhenti meski kilat menyelingi. Hujan di luar, namun tidak pernah ada rasa dingin apalagi sejuk di rumahnya setiap hari. Api itu semakin membesar bila di diamkan, api itu tidak ingin padam meski hujan sudah membasahi.

Samudra beneran tidak bisa berbuat apa-apa di meja makan, yang ia lihat ayah hanya berteriak di kursinya—bunda memotong-memotong bawang—membuatnya menangis. Namun, seperti yang laki-laki itu tahu, Bunda hanya akan diam—menangis seperti wanita bodoh.

"Dia bikin anak orang koma!

"Anak itu lahir dari rahim kamu!

"Sialan!"

Ia tahan amarah, ia tahan ombak di lautan agar tidak menghancurkan karang. Ayahnya memantik korek api lalu ia nyalakan rokoknya yang terakhir. Memandangi ayahnya—Samudra terbatuk karena asap rokok yang menyesakkan dada nan hatinya.

Bunda kesakitan, pemuda itu langsung beranjak dari duduk—pergi ke arah mamahnya—ia lihat jari itu berdarah, maka Samudra ambilkan kotak obat. Mengenggam tangan itu pelan, membalutkan perban di telunjuknya. Namun Bunda semakin menangis kala ia lakukan itu.

"Lihat, motong bawang aja enggak becus!"

"Iya."

"Pantes enggak bisa ngurus anak-anak.

"Ibu sialan."

Ia menoyor kepala mamahnya. Samudra benci itu, ia menatap pria di depannya—menajamkan matanya—menantang pria itu berkelahi sekarang juga.

Ayah melihat Samudra. Ia tidak takut dengan mata itu. Samudra kepalkan genggaman tangannya. Ia memperhatikan letak bibir itu berada—letak di mana ia akan tinju mulut sialan itu. Bahkan bila gempa bumi menghentikannya—Samudra akan siap dengan bencananya.

Namun satu suara bantingan pintu dari kamar mendistraksi, itu Gemintang—ia buru-buru mendatangi ayahnya yang terus memaki. Seperti ingin memanasi keadaan yang semakin sulit.

"Sialan?" Ia tarik kerah baju ayah. Gemintang dorong ayahnya yang terpojok di tembok belakangnya.

"Bunda sialan?

"Kalo gitu Anda lebih sialan, karena udah kasih sperma enggak sehat buat bunda!"

Ia balas cengkram kerah baju anaknya, ia balas makian itu dengan makiannya. Derai hujan di atas genting rumah menyamarkan suara menyakitkan. Ia biarkan bunyi hujan itu menutupi.

"Anak kurang ajar.

"Memangnya kamu bisa apa?!

"Kamu enggak bisa apa-apa, Gemintang." Nadanya pelan. "Kamu cuman sampah, apa kamu pernah buat sesuatu untuk keluarga ini?

"Enggak ada satu pun hal yang bisa buat kita bahagia sama kamu, Gemintang. Kamu mati-matian bela wanita bodoh itu juga enggak ada gunanya," sambungnya mengejek. "Memangnya dia peduli?"

Tawa laki-laki itu kemudian—disusul pukulan di pipi nya.

Gemintang meninju pria itu, ia tidak peduli—satu pukulan. Namun Samudra langsung memegangi Gemintang, menjaga saudaranya itu tetap waras.

Sang ayah bangkit, ia menuju arah Gemintang—balas memukulinya—meninju pipinya—sekali—dua kali—empat kali.

"AYAH!" Bunda berteriak. Menarik tangan suami tercintanya meski tidak kuat.

Samudra menarik ayahnya sekarang—memeluk ayahnya dari belakang agar kedua tangan itu tidak meninju wajah adiknya lagi. Wajahnya lebam, Gemintang menopang tubuhnya di nakas dapur. Sendirian.

"Ayah harus minta maaf sama mereka—orangtua Nata! Ayah yang harus tanggung semua biaya berobat dan ganti rugi Nata! Kamu pikir dapat uang darimana?!

"Ayah harus jual ibu kamu?! Mana laku!

"Sekarang kamu lihat? Memang dia peduli sama kamu?! Lihat sekarang dia megang tangan siapa? Tangan kamu?!" Ayah tertawa karena bunda memegangi tangannya yang sejak tadi melerai ayah.

Satu tembakan api lagi yang tidak bisa teredam. "Memangnya wanita tolol ini peduli sama kamu?!"

Gemintang terbatuk—melihat bunda—melihat ayahnya.

"Bunda?"

Tidak ada jawaban. Hanya ada cekikikan ayahnya—dia menang.

Ia lari, menjauh dari rumahnya di antara malam dan hujan. Samudra mengejar Gemintang, ia biarkan basah sweter biru tua kesukaannya. Ia biarkan angin menerobos masuk di dadanya. Samudra kecewa pada bundanya—yang tidak membela Gemintang. Namun ini semua salah Samudra, ia biarkan Gemintang sendirian—ia biarkan Gemintang dipukuli Ayah. Harusnya ia tonjok wajah bajingan itu demi Gemintang—adiknya, harusnya ia maki alat kelamin pria itu yang murahan. Dan seharusnya Samudra bawa pergi Gemintang dan Bundanya dari rumah ini!

"Lihat dua anak kamu itu!

"Persis sama ibu mereka!

"Tolol."

Suara kaca pecah. Suara teriakan perempuan di dalam rumah yang hangat—hanya kata kiasan. Samudra yang sedari tadi berteriak memanggil adiknya berhenti di sana—di antara jutaan tangisan yang jatuh di wajahnya.

"GEMINTANG!"

Masih berdiri di atas rumput yang basah. Ia lebih bisa mendengar suara pecahan kaca dan tangisan wanita dibandingkan rintik hujan yang menyakiti. Maka Samudra sekali lagi berbalik, masih menahan amarah dari lempengan bumi terdalamnya. Masih mencoba menerima, masih mau menyelamatkan wanita yang ia sayang sekali lagi. Meski tahu wanita bodoh itu lebih memilih mencintai kekasihnya.

...

a.n

sepuluh bab lagi, astaga cerita ini bakalan selesai. Semoga aku bisa update dua kali seminggu mulai sekarang, amin-amin yang banyak. sumpah ini cerita dari tahun 2019 dan hampir lima tahun kita bersama, aku mau nangis beneran.

apa bener nih hubungan kita masih gini-gini aja udah lima tahun?

jangan bosen-bosen sama cerita beracun ini

salam,

cowok yang suka anak kambing

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang