75 • Samudra Lebih Dari Lautan

4.3K 713 51
                                    

Sang pangeran menyedihkan itu masih mencintai putrinya. Ia biarkan cinta menutup mata dan hati sang pangeran dari semua kejahatan yang dilakukan pujaan hati. Namun ia yakin, putrinya masih menjadi orang baik. Ia yakin, sekali.

Maka yang Samudra lakukan saat kekasihnya dan semua temannya datang—mengacaukan keadaan dengan semua omongan jahat mereka tentang teman mereka sendiri adalah menghindar. Samudra mengajak Aya pergi dari mejanya, pindah ke meja sebelah—meski harus tertatih karena kakinya yang retak. Demi Cahaya—agar ia tidak terkena masalah, dan demi Bulan—agar gadis itu hidup damai setelahnya.

Ini semua salah lautan, ia biarkan semua ikan berkelahi satu sama lain—menghancurkan terumbu karang, ia biarkan pula nelayan mengambil ikan di hatinya. Ini bukan salah ikan dan nelayan. Ini salah lautan karena tidak bisa melakukan apa-apa. Ini salah lautan, meski ia senantiasa menaungi ikan dan nelayan.

...

Hari-hari berlalu dengan begitu saja. Ia melihat semua yang tidak ingin lihat di matanya. Ia lihat gadis itu dihina setiap hari—ia lihat bagaimana mereka menempelengi kepalanya di depan mata Samudra, ia lihat gadis itu tidak pernah melawan sama sekali, dan yang lebih menyakitkan daripada itu semula melihat kekasihnya tidak pernah memiliki hati untuk membela—membantu temannya dari perundungan. Sang putri berubah.

Samudra sayang Aya. Ia relakan begitu saja hati dan matanya tertupi rasa cinta—lebih parah dari sebelumnya. Samudra diam saja, ia biarkan itu terjadi hanya untuk Cahaya, demi Cahaya, buat Cahaya. Namun, seberapa lama lagi cinta itu menutupi hatinya?

"Kamu tau enggak sih, kenapa patung atau gambar-gambar laki-laki eropa jaman dulu itu selalu telanjang—badan mereka bagus, tapi burungnya kecil?"

Refleks, Samudra tertawa mendengarnya. Bukan maksudnya mengejek atau apa, tapi mendengar Aya berkata burung—itu membuat kelitik di perutnya.

"Jangan ketawa, Dra." Mencubit perut Samudra. "Aku serius!" tawanya kecil juga.

"Aw," sakitnya. "Iya-iya. Kenapa emangnya?"

"Karena itu keliatan keren."

"Keren?"

"Iya! Itu melambangkan kalau mereka bekerja dan berpikir menggunakan otak dan fisik mereka. Mereka enggak pernah berpikir hal-hal kotor tentang selangkangan. Itu kenapa wajah mereka tampan, badan mereka atletis dan kemaluan mereka terlihat kecil."

"Aku baru tau."

"Nah, tenang aja. Walaupun kamu pinter sama ganteng, aku yakin enggak kecil kok." Sepert biasanya Aya dengan semua hal genit di pikirannya.

Samudra cuman mengiakan.

"Kok muka kamu merah?"

Aya mengada-ada.

"Hah?"

"Tenang aja, Dra. Walaupun ternyata emang kecil, aku tetep sayang kamu, kok." Senyumnya. Manis.

Namun pandangan Samudra tidak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Ia duduk sendirian, menulis sesuatu di buku. Belajar, masa-masa ujian sekolah dan yang lainnya akan datang. Bagaimana bisa Samudra membuat hidupnya tambah menyakitkan? Bagaimana bisa ia diam saja ketika seluruh video bukti kekerasan itu ada di gawainya?

Samudra tertawa. Ia jahat. Sungguh, ternyata ia lebih mencintai Cahaya lebih dari apapun. Ia rela menjadi orang paling jahat hanya untuk kekasihnya sendiri. Egois, dan Samudra sadar itu.

Kemudian datang teman-teman Cahaya. Masuk ke kelas, ketika mereka melihat rembulan itu sendirian di sana tanpa lindungan sinar bintang, mereka hina kembali—mereka tempelengi kepala itu berkali-kali. Tertawa. Melihatnya, hati Samudra kesakitan. Cintanya hanya diam seribu bahasa setiap ini terjadi.

"Maaf, Lan, gua kira kepala lu ada lalet." Setelah menoyor kepalanya.

"Mana ada lalet di pager yang suka makan tanaman, sih, Shan?"

"Oh, iya, lalet kan cuman ada di sampah."

Salma menimpali. "Enggak boleh gitu ih, Jes. Masa lu ngatain orang sampah?"

"Oh ini orang?" celetuk Audrey juga. Membuat tawa di antara mereka. Riuh.

Hatinya terluka, Bulan selalu menjadi gadis cantik di hatinya, ia biarkan semua perkataan mereka tanpa melawan mereka dengan kejahatan kembali—membuat itu terlihat selalu cantik di matanya.

Pria itu berdiri dari duduknya, berjalan ke arah mereka, gadis-gadis itu memperhatikan. Samudra ingin membantunya—melerai keributan monster-monster bergincu merah ini.

"Waduh, dateng nih pahlawan."

"Takut."

Namun Samudra hanya berjalan melewati, ia biarkan itu, ia lewati hal itu, karena ia tahu, jika ia membantu akan terjadi hal yang lebih menyakitkan lagi baginya. Hal yang tidak ingin dia tahu—bahwa putrinya menyakiti hati orang lain. Bahwa ternyata kekasihnya tidak sebaik yang ia lihat.

"Oh, udah enggak jadi pahlawan?"

"Cowok lu udah enggak jadi pahlawan, Ya?!" teriaknya pada Cahaya.

Mereka menyakiti Samudra dengan semua perilaku monsternya. Mereka melakukan itu semua di depan Samudra, untuk memancing Samudra, karena mereka tahu—Samudra selalu mencintai Cahaya demi apapun. Pemuda itu tidak akan membiarkan pacarnya yang cantik tersakiti, meski sebuah kerikil di jalanan.

Lautan itu hanya bisa menaungi. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk seluruh ikan dan nelayan. Hanya musibah yang terjadi jika lautan beraksi, dia menghacurkan segalanya dengan ombak besar kejamnya, iya, 'kan?

...

a.n

Halo, jujur aku bingung sama ini cerita nyeselaiinya gimana, hiyaaa, btw sumpah deh ini cerita udah lamaaaaa banget, tapi kalian masih terus baca.

Aku kayak beneran punya pacar yang setia nungguin balesan chat aku. (Apaan sih!)

Pokoknya. Terimakasih bangetttt yang udah setia baca cerita ini, meski tau yang nulis itu orang paling ngeselin, paling jahat, paling nyebelin yang pernah kamu tau, hehehe. I <3 u banyak banyakkkk

Kapan-kapan kita harus meet up, ngomongin betapa berengseknya samudra sama gemintang, tololnya bulan dan aya. Bonus bisa mukulin penulisnya klo beneran kejadian wkwkwkwkw (cuman ea ea doang paragraf ini)

Salam,

Penulis Kesepian

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang