89 • Gemintang Pemuja Angkasa

1.5K 199 28
                                    

"Makin cantik aja."

"Siapa?"

"Ibu dong."

"Jayus."

"Pangeran sekolah kaya saya enggak mungkin bohong, 'kan?"

Wanita itu menepuk pundak Gemintang dengan halaman kertas ujian. "Narsis. Mana ada pangeran nilainya jelek semua."

"Ada."

"Siapa?"

"Saya." Tersenyum lebar.

Tidak ada sebuah kalimat mana pun yang bisa mendeskripsikan langit saat dirinya tersenyum, tidak ada bait puisi mana pun yang mampu melukiskan senyuman di bibir—dan bentuk dari prosa apa yang mampu mengatakan bahwa matahari tidak akan menumbuhkan pohon yang ada di hati?

Gemintang suka Ibu Dini, seperti saat dia mengendarai sepeda motor saat malam hari—embusan yang menyakiti—walau dirinya terlukai. Ia ingat kala wanita itu mengatakan bahwa sesuatu dari hati akan dapat diterima oleh hati jua. Ia rela korbankan karirnya hanya untuk Gemintang seorang—murid biadab yang tidak pernah tahu diri. Gemintang sayang wanita di depannya—maka setiap pukulan dari Mario yang mendarat di pipi nya selalu ia hadapi.

Awan masih bewarna biru di udara, suara para remaja terdengar berkicauan di tanah, dan Gemintang mengembuskan napasnya perlahan memperhatikan wajah semangat wanita di depannya. Ia tertawa karena guru itu tertawa—menertawai kejayusannya. Sampai berapa lama ini akan bertahan?

"Beberapa hari lagi ujian nasional, Gemintang. Kamu udah siap?"

"Enggak." Tegas. "Saya enggak siap kalau jauh dari ibu."

"Drama, deh." Ibu Dini melirik sekilas ke lapangan—Romeo melempar basket pada Samudra lalu berteriak, "Ayo, Tang, main!"

Gemintang memberikan jari tengah pada temannya itu, lalu Bu Dini menarik jari pria di depannya. "Kamu pernah dipatahin jarinya?!"

"Iya maaf Bu Dini cantik." Gemintang nyengir kuda.

Lanjut Ibu Dini dengan kalimatnya. "Maksud saya kamu udah siap ujian nasional? Universitas mana pilihan kamu? kamu enggak pernah jawab kalau ibu tanya tentang ini.

"Ini penting loh, Tang. Ibu enggak mau kamu menyesal."

Jujur, Gemintang tidak tahu. Ia kebingungan. Tidak ada yang bisa ia pikirkan selain rasa sayang.

"Ibu tunggu jawaban kamu, ya."

"Siap, Bos."

"Fokus ujian nasional kali ini."

"Iya."

"Jangan mikirin Bulan terus."

"Kata siapa saya mikirin dia terus?"

"Kamu terus nempel sama Bulan. Ngeliat kalian berantem sekarang, rasanya keliatan sekali."

"Sok tahu."

"Apa saya bilang, cinta sama benci itu beda tipis, 'kan?"

"Saya enggak suka sama dia," katanya. "Cengeng, cerewet, cuek. Amit-amit."

"Itu namanya gengsi."

"Saya enggak suka Bulan, Bu."

"Terus sukanya?"

"Ibu Dini." Satu matanya mengedip.

Menepuk-nepuk kening kemudian menepuk tembok di belakangnya. "Sekarang ibu yang amit-amit."

"Itu gengsi namanya." Gemintang terus menggoda

"Jangan balikin omongan orangtua."

Gemintang tertawa. Wanita muda dan cantik yang selalu marah-marah padanya itu membuat Gemintang makin suka sekali menggodanya.

Aku Akan Mencintaimu Jika Kamu Sudah Terlihat CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang