END

18.1K 1.3K 189
                                    

Suasana bangunan megah itu sangat suram. Bahkan hangatnya sinar matahari tak bisa mengalahkan dinginnya kediaman Grand Duke.

Pelayan yang berlalu-lalang serempak mengenakan pakaian hitam. Tak sedikit pula yang terlihat masih terisak dengan mata sembab.

Kepergian Grand Duchess memukul mereka sangat dalam. Mansion yang pernah dipenuhi tawa itu kini membeku sepenuhnya.

Pada lantai dua bangunan tersebut, terdapat seorang pemuda dengan lebam samar di wajahnya. Sebelah tangannya mengetuk pintu dan tangan yang satunya mengangkat nampan.

"Yang Mulia..... saya mohon. Anda harus makan." Suaranya parau. Hatinya sakit melihat tuan yang dia layani selama ini, kehilangan semangat hidup.

Sudah tiga hari dan Gavril belum juga keluar dari kamarnya. Pria itu bahkan enggan untuk menyentuh makanannya. Di pagi hingga sore hari, Gavril akan terlelap dan saat malam hingga fajar tangisnya terdengar.

"Yang Mulia, pemakaman nyonya akan dilaksanakan nanti sore...." jenazah Aeris sudah dibawa Marquess Zarvan ke kediaman nya. Paruh baya itu sama hancurnya bahkan lebih. Dia kehilangan satu-satunya keluarganya yang tersisa.

Gavril membalikkan tubuhnya, berbaring membelakangi arah datang nya suara menyedihkan itu.

Dia sangat menyalahkan dirinya atas insiden yang menimpa Aeris. Jika saja dia datang lebih cepat, jika saja dia memastikan kematian seluruh anggota keluarganya--

Gadis itu sudah pergi dan sekarang Gavril sendirian lagi. Dia menghela nafas setiap kali tenggelam dalam memori tentangnya. Gavril sangat merindukan Aeris sampai membayangkan gadis itu yang sedang tersenyum di sampingnya.

Pada kenyataannya Aeris tidak lagi disini tetapi aromanya masih tertinggal. 

"Aku sangat membencimu." Bibir pucat itu berbisik pada angin. Manik ruby itu sayu dengan kantung mata yang menghitam.

Malam yang panjang dengan mimpi buruk yang tak kunjung usai. Dunia Gavril diselimuti kabut. Kenyataan yang tak bisa dia hadapi bersembunyi di balik kegelapan.

Air matanya terus-menerus menumpuk.

Kekosongan yang duduk di hatinya adalah ruang yang dipegang gadis itu.

"Aku harus apa, Aeris?"

Aeris adalah satu-satunya untuk Gavril. Dia merindukannya dan semakin merindukannya. Perpisahan yang menyakitkan dan kenangan panjang itu-- Gavril akan sangat bersyukur walaupun jika hanya bisa bertemu di dalam mimpi.

"Pada akhirnya, kamu juga meninggalkan ku."

Lantai kamar itu dipenuhi dengan pecahan beling beling dari kaca dan benda-benda lainnya. Darah segar menetes dari telapak kaki yang berada di kasur.

Warna selimutnya berubah merah.

"Kamu bahkan belum memperkenalkan dirimu."

Pria yang terkenal minim ekspresi itu, memiliki wajah yang semakin tirus. Seluruh energinya seolah dikuras paksa. Untuk mengangkat jari saja, Gavril enggan.

Waktu mereka singkat namun memiliki kenangan yang hebat. Dimulai dari obrolan ringan dan lelucon yang tak berarti. Mengingat kilas balik mereka.....

"Aeris..."

Masih belum. Gavril terus mengulang kata itu seperti orang bodoh. Tidak. Takkan mudah baginya karena gadis itulah yang mengisi hari-hari nya. Memberikan banyak warna dalam kehidupannya yang hitam.

Dia masih mengingat manik amber yang berbinar antusias itu.

Gavril tak bisa melihat akhir dari kisah ini. Apakah ada jalan keluarnya? Ketika Gavril mencoba pulih, itu membuatnya semakin kacau.

I became the wife of the male lead {End}Where stories live. Discover now