PART 37

14.3K 1.6K 109
                                    

Gema suara yang memekak kan telinga itu bersahut-sahutan. Ledakan terus menghantam halaman hingga tembok pertahanan mansion Argust.

Debu yang nempel di dinding, menghujani lantai bata di bawah tanah.

Ketiga gadis yang berada di tempat itu, merapatkan diri menjaga satu sama lain. Aeris mengalungkan tangan nya pada pundak bergetar Valerie. Gadis itu tak bisa menyembunyikan ketakutan, meringkuk dengan kepala yang tenggelam diantara kedua lengannya.

Siapa yang tak takut jika berada di situasi ini? Mereka bertiga sama gentar nya. Hanya saja Aeris dan Yuna pandai menyembunyikannya.

"Jadi Gabriel selamat dalam pembantaian sepuluh tahun silam?" Tanya Yuna. Gadis itu menatap lurus pada Aeris yang termenung.

Jika benar, lantas mengapa Gabriel menyerang tempat tinggalnya sendiri? Mengapa pemuda itu tidak mengungkapkan identitasnya selama ini? Apa yang dia sembunyikan?

Aeris tak tahu apa-apa selain memuat informasi di dalam buku. Tetapi dia kepikiran tentang alur saat kuil berperang dengan kekaisaran.

Bagaimana jika kuil berperang bukan karena ingin merebut Saintness? Bagaimana jika kuil memang sudah diperdaya oleh Gabriel sejak awal? Rentetan pertanyaan yang belum ditemukan jawabannya itu memenuhi otak Aeris.

Mereka juga sedang dalam posisi terpojok saat ini. Jika pasukan Gabriel berhasil memasuki mansion, tak memerlukan waktu lama, mereka bertiga akan tertangkap.

Tiba-tiba bayangan wajah Marquess Zarvan tergambar. Aeris langsung berdiri, mengabaikan tatapan tanya dari kedua gadis disekelilingnya.

"Anda mau kemana?"

"Nyonya, An-da sedang apa?"

Sembari mengobrak-abrik barang-barang di sana, Aeris menjawab gusar. "Aku mencari benda yang dapat digunakan sebagai senjata." Aeris tak mengharapkan apapun. Selain busur, dia tak bisa menggunakan alat lain.

"Eh?" Entah dewi Fortuna sedang memihak kepadanya, sebuah busur berlapis perak berkilauan terlihat begitu meja digeser.

Tak hanya itu, di dekatnya juga terdapat sebuah pedang yang memiliki warna serupa.

"Yuna, Valerie, kemarilah."

Kedua gadis itu dengan serempak mengangkat gaun menghampiri Aeris. Sama kagumnya, mereka menatap benda peninggalan itu dengan mata terbelalak.

"Kamu tahu cara menggunakan pedang?" Tanya Aeris memandang kedua orang itu bergantian.

Velerie menggeleng ribut dan Yuna mengangguk enggan. "Hanya sedikit. Teknik dasar." Ungkapnya seraya meraih pedang tersebut.

Ketiganya tahu jika mereka tak bisa berdiam diri menunggu bantuan datang. Hanya ada dua pilihan. Tetap diam menunggu kematian atau bergerak melawan dengan tenaga yang ada.

"Jika berhasil keluar, kita akan pergi ke daerah pegunungan." Memastikan Yuna dan Valerie bersedia, Aeris memejamkan matanya sejenak. Mencoba memberikan dorongan pada dirinya sendiri.

Melawan atau diam selamanya.

Ketiga pasang kaki itu menapaki anak-anak tangga.

Semakin dekat mereka dengan pintu, semakin jelas pula jeritan orang-orang di baliknya.

"Nyonya...." Valerie menarik kecil ujung pakaian lengan Aeris.

Brak! Suara pintu yang ditendang keras menyebabkan kayu tersebut roboh.

Aeris langsung mengambil posisi bersiaga. Menarik anak panah yang semulanya sudah dia pasangkan. Begitu pula dengan Yuna. Gadis itu maju, menyembunyikan Valerie yang tak membawa apa-apa.

I became the wife of the male lead {End}Where stories live. Discover now