#18

33.8K 4.6K 214
                                    

Ketukan jari-jari panjang di atas meja di samping kasur, terdengar mengalun di ruangan kamar yang senyap.

Seorang pria bersandar pada headboard, dengan kepala tertunduk dalam.

Bibir ranumnya mengerucut lucu, seiring dengan gerutu-gerutu kecil yang berasal dari sana.

"Padahal aku ingin bersamanya, ck!"

Gavril menyugar rambutnya kebelakang. Wajahnya menengadah menatap langit-langit kamar. Baju dinasnya, sudah tergantikan dengan kemeja putih polos dipadukan dengan celana hitam.

Dia tak berdaya duduk di atas kasur. Pun, sebelah tangannya berhiaskan perban.

Tadi, setelah mengutarakan keinginannya untuk tetap bersama Aeris, gadis itu tergopoh mengobati lengannya.

Agaknya penuturan Gavril, tak terlalu diindahkan oleh gadis itu.

Awalnya Gavril senang akan perhatian yang dicurahkan, namun sekarang dia sendirian ditinggal kerja oleh Aeris.

Menghela nafas panjang, tubuhnya beranjak dari tempat tidur. Kakinya melangkah meninggalkan tempat, menuju ruangan Aeris. 

Pintu besar yang dijaga oleh dua orang kesatria, berada ditengah-tengah bangunan lantai dua.

Begitu melihat Grand Duke, kedua kesatria itu kompak membungkuk hormat. Hendak mengumumkan kedatangannya, mereka sontak terdiam kala Gavril menggeleng tegas.

"Pergi." Satu kata yang dia ucapkan, langsung diangguki patuh oleh keduanya.

Gavril merapatkan tubuh pada pintu. Tangannya meremat kuat knop, dengan kepala yang condong ingin mengintip.

Saat pintu menampilkan celah, pandangannya dipenuhi oleh Aeris.

Gadis cantik yang mengenakan gaun putih polos, bersamaan dengan surai coklat terangnya yang digerai indah.

Gadis itu sibuk memindai dokumen di genggamannya. Sesekali dahinya mengkerut, sebelum memanggil kepala pelayan yang memang berada di sebelahnya.

"Yang muli-hmp!"

Leon tercengang. Nafasnya tercekat begitu bilah pisau, kurang se-inci berada di depan lehernya.

Bahkan, untuk menelan ludah saja dia enggan. Takut-takut jika mata pisau tersebut menembus tenggorokannya.

Gavril mendengus dingin. Tatapan tajam bak elang itu, dia tujukan pada ajudannya ini.

Dasar pengganggu!

Pun, pisau dia turunkan membuat Leon meraup banyak oksigen.

"Ada apa?" Tanyanya tanpa basa-basi atau memastikan kesehatan mental ajudannya ini.

Menggeleng ribut, Leon menepuk-nepuk dadanya yang terasa nyeri akibat dentuman jantungnya berdetak gila.

"Saya hanya menyapa." Pemuda manis itu tersenyum. Senyuman yang tak sampai mata. Agaknya dia tertekan.

Merespon tak acuh, Gavril membalikkan badan, menjauh dari tuang kerja Aeris. Diikuti oleh Leon di belakangnya.

"Laporkan."

Kata singkat yang pastinya akan sulit dimengerti oleh kebanyakan orang, langsung ditangkap oleh Leon.

Pemuda bersurai abu-abu itu memiringkan kepala seraya membaca kertas pendek di telapak tangannya—kertas yang baru saja dikirimkan oleh utusan Grand Duke, dalam menjemput Saintess.

"Mereka sudah sampai, kemungkinan besar sang Saintess akan tiba di istana besok."

"Lagi."

"Ya?" Leon berkedip bingung. Dia kira hanya ini tugas yang harus dilaporkan. Jika ada yang lain, lantas apa?

I became the wife of the male lead {End}Where stories live. Discover now