#5

59.9K 6.6K 123
                                    

Suara langkah, yang berasal dari tumit sepatu Aeris, memenuhi lorong yang senyap. Di sampingnya, Valeria celingak-celinguk keheranan. Di mana semua orang? Kenapa lorong ini terlihat sepi?

Tadi, setelah ketauan menghina Grand Duke secara terang-terangan, Aeris di perintahkan agar menemui Gavril setelah makan siang.

"Wah, kau lihat ini, Valeria? Ini semua emas, bukan?" Tanya Aeris dengan binar mata yang menyilaukan dari netra nya.

Gadis itu menempel-memeluk dinding. Tak ada malunya, Aeris mencium dan mengigit furniture yang berwarna kuning berkilauan itu.

"Nyonya! Jangan kampungan! Bukankah di kediaman Marquess Zavran, lebih mewah dari ini?"

"Marquess Zavran?" Beo gadis itu tampak bodoh. Alisnya bertaut, memikirkan nama tak asing itu. Tak lama, mulutnya terbuka lebar.

"Ah! Si Zavran?!" Pekik nya yang langsung membuat Valeria berteriak heboh.

"Nyonya!" Ayolah, Valeria masih ingin hidup. Bagaimana bisa sang Duchess mengucapkan nama Marquess tanpa embel-embel ayah? Ada undang-undang yang melarang itu!

Aeris ingat. Marquess Zavran. Ayah kandung dari Aeris. Pria paruh baya yang sangat mencintai putrinya. Aeris adalah anak semata wayang yang ditinggal mati oleh sang istri. Bukan seperti kebanyakan bapak di dunia novel yang membenci putri nya karena menyebabkan sang istri meninggal, Zavran tak berpikiran sesempit itu!

Di beberapa chapter, di sebutkan tentang kedekatan ayah dan anak itu. Tak ada cacat sama sekali akan hubungan kekeluargaan mereka.

Namun, saat Aeris meninggal, nama Marquess tak pernah di sebut lagi. Seakan, pria paruh baya itu ikut menghilang bersama putrinya.

"Ayah ku, memiliki banyak uang!" Semangat Aeris berkobar. Jika Marquess sangat mencintai putrinya, akankah paruh baya itu menyetujui perceraian?

Di kalangan bangsawan, perceraian merupakan hal yang tercela. Tak sedikit wanita, yang setelah digugat oleh suaminya, akan memilih untuk mengakhiri hidup. Karena merasa kotor, dan mendapat cemoohan dari rakyat.

"Emang aku peduli?" Aeris sama sekali tak terpengaruh oleh cibiran tersebut. Dia hidup di zaman modern, dan cibiran, hinaan hingga cacian, sudah menjadi makanannya sehari-hari. Apalagi mengingat jika dia adalah seorang yatim piatu.

"Tapi, nyonya..." Valeria menyahut.

"Ada yang mengatakan, jika di dalam ruangan Grand Duke terdapat pusaka yang tak ternilai harganya."

Tak ternilai harganya. Di pendengaran Aeris, suara emas batangan berjatuhan. Jika dia mendapat pusaka tersebut, akankah dia menjadi janda terkaya di kekaisaran? Uang adalah segalanya, bung!

"Benar, kah?" Tanyanya tak sabaran seraya mengguncang pundak Valeria.

"Tentu saja!"

Jadi, di sinilah keduanya berada. Berdiri diam di depan pintu berbalut emas-Grand Duke Gavril.

Aeris tak bisa mengatupkan bibirnya. Gadis itu menatap tercengang akan pintu mengkilap, berkilauan cahaya di hadapannya. Berapa harga pintu ini jika di jual?

"Nyonya." Valeria menegur. Barulah gadis bermanik amber itu berdehem canggung.

"Di mana gav-grand Duke?" Tanyanya pada penjaga pintu.

Kompak kedua kesatria itu membungkuk hormat. Sudah menjadi adat kebiasaan, bagi para kesatria dan rakyat, untuk memberikan salam pada bangsawan. Asalkan dia bangsawan, tak peduli muda hingga tua, mereka tetap berada di level tertinggi di bawah kaisar.

"Hormat kami yang mulia Grand Duchess."

Aeris menyibak tangannya ke udara. Bermimik pongah, jadi ini rasanya berkuasa?

I became the wife of the male lead {End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang