PART 34

10.8K 1.2K 23
                                    

Aeris menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Di hadapannya, terdapat Yuna yang duduk—menyeruput teh.

Selepas Gavril dan Argio pergi, kedua gadis ini memilih untuk tetap tinggal. Biarkan kedua lelaki itu mengurus permasalahan mereka.

"Aeris," Yuna memecah keheningan yang sempat menjerat. Gadis bersurai emas itu meletakkan cangkir ke atas meja.

Bibirnya terbuka sejenak sebelum terkatup seolah menekan keinginan untuk mengungkapkan sesuatu. Berakhirlah gadis cantik itu menatap Aeris dengan lugas.

"Kenapa?" Kedua alis gadis itu terangkat. Tumben sekali Yuna diam seperti ini. Setelah mengenal lebih jauh, Yuna bukanlah sosok yang pendiam. Gadis itu cukup cerewet jika bersamanya.

Tak langsung menjawab, Yuna mengedarkan pandangannya, menyapu penjuru ruangan. Memastikan jika hanya ada mereka berdua di tempat itu.

Merasa aman, gadis itu berbisik pelan,
"Ini tentang aura anda."

"Apa?" Kontan Aeris menunduk, memeriksa tubuhnya. Tak ada yang pernah menyinggung tentang aura nya selain Argio. Bahkan Gavril saja tak sadar.

Gadis bermanik amber itu menautkan jari-jarinya yang mulai bergetar. Yuna tak mungkin tahu, kan? Antisipasi di matanya meningkat, cemas.

Yuna yang menangkap reaksi tak nyaman dari teman nya itu, berdehem pelan. Matanya berlarian seraya memilah kata-kata di dalam benak. Dia tak ingin menyinggung satu-satunya teman nya di sini.

"Mohon maaf sebelumnya, tapi aku ingin bertanya," melihat Aeris yang tampak tegang menunggu kata-kata nya, Yuna meneruskan.

"Apakah kamu pernah mengalami sakit di suatu tempat? Rasa sakit yang kamu sendiri tidak tahu penyebabnya?"

Atas pertanyaan gadis itu, Aeris langsung teringat pada momen dimana dia muntah darah dan tidak sadarkan diri selama tiga hari penuh.

Jadi, apakah itu akibat dari aura yang tak mau menyatu dengan tubuhnya?

Mengangguk, Aeris memilih untuk jujur. Mungkin Yuna bisa membantu.
"Ya. Aku sempat muntah darah dan pingsan sebulan yang lalu."

Tak ada keterkejutan di wajah Yuna seakan-akan gadis itu sudah memprediksi kejadiannya.

Yuna mengusap lehernya yang kaku lalu beranjak untuk duduk di sebelah Aeris yang menatap—mengikuti pergerakan nya.

Rasa hangat menjalar dari punggung tangan yang tumpang-tindih dengan Yuna. Gadis yang memiliki gelar Saintness itu memejamkan mata sejenak.

"Aura ini berbahaya bagi tubuh Aeris. Tubuh Aeris terus menolak aura yang ingin masuk." Yuna menjelaskan dengan mata yang senantiasa tertutup.

Garis-garis samar muncul pada pelipisnya. Yuna membuka matanya perlahan. Ekspresinya sulit untuk dijabarkan.

Aeris menahan nafas begitu lontaran pertanyaan tak terduga gadis itu keluar.

"Kamu bukan Aeris?"

_________________

Disisi lain, di dalam ruang kerja Gavril. Tampak kedua pria itu berdiri, memandang peta yang terbentang.

Argio meletakkan pion pada bagian di dalam gambar. Terdapat desa kecil yang berada di balik bukit yang menjadi pembatas ibu kota benua.

"Suku bar-bar tiba-tiba saja menyerang sore ini." Jarinya berpindah pada bagian gambar yang lain.

"Dalam satu hari, terdapat tiga desa yang dihancurkan." Bariton suaranya mengisi kesunyian. Dengan rahang yang mengetat, Argio menyugar rambutnya.

I became the wife of the male lead {End}Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum