TC 13 -Mafia? 🌱

72 9 0
                                    

“Kamar mandi di lantai atas, dalam ruang kerja!” Galuh berkata antusias, kala mengingat kejadian mengganjal. Ia berjalan lebih dulu, memandu delapan orang yang ada di belakangnya.

Mereka semua sekarang ada sembilan orang. Tiga orang baru, ialah teman setim Gus Arzian. Gus Arayyan, Hyun Ra, Kurva, serta Terang yang jadi ikut.

“Pintunya dikunci,” kata Galuh, kala setibanya di depan ruang kerja ayahnya.

“Aku bawa obeng, biar aku coba.” Galuh mengangguk, dan menyingkir dari depan pintu. Liga, kapten Gus Arzian dalam divisi narkoba langsung mengotak-atik pintu bercat hitam tersebut.

“Pintunya kebuka.” Semuanya langsung memasuki ruangan. Menatap sekeliling yang tampak rapi. Galuh langsung menuju kamar mandi, tapi ternyata terkunci juga.

Setelah Liga berhasil membuka pintu itu, semuanya melihat dari depan pintu, karena tidak memungkinkan untuk semua orang masuk, ke toilet yang cukup dimasukin maksimal lima orang.

Tim kepolisian ini ada empat orang termasuk Gus Arzian. Mereka berempat mengecek toilet yang tampak seperti pada umumnya. Tidak ada yang aneh, atau pintu tersembunyi di sini. Mereka sudah mendorong dan mengecek seluruh dinding.

“Kamu yakin di sini?” Arby, salah satu anggota tim Gus Arzian bertanya.

“Omaygat, gaes ...?” Liga menatap closet dengan berbinar, ia berjongkok, mengetuk lantai di bawah kloset dengan linggis.

Segera ia membongkar lantai itu dengan linggis. Kloset itu ternyata tidak berfungsi, begitu lantai terbuka, ruang bawah tanah terlihat dari lantai bawah kloset tadi.

“Ini anggota DPR satu, kreatif apa gimana. Ruang bawah tanah di bawah kloset. Ckckck,” Terang berceluk, dengan menggelengkan kepalanya seraya bergumam demikian.

“Jangan masuk semua, beberapa orang aja dulu. Kalau udah cek keadaan di dalam, baru kita kasih tahu.” Semua mematuhi perkataan Kapten Liga. Hanya para polisi yang turun selangkah demi selangkah, melewati undakan tangga ruang bawah tanah. Ah, dan Gus Arayyan juga. Mereka berlima.

“Wah, ibarat rumah tikus, jalannya kecil tapi rumahnya luas. Ckckck,” ucap Gian, salah satu rekan setim Gus Arzian.

“Aku panggil yang lain dulu, untuk masuk.” Arby bergegas naik kembali, setelah berkata demikian. Para tim kepolisian mulai berkeliling, mengamati seisi ruangan.  

“Kayaknya ruangan ini bukan dipakai Atma Danendra sendirian deh, Bang.” Gus Arzian berkata pada abangnya.

Gus Arayyan mengangguk, menyetujui. “Banyak komputer, dan coretan di papan tulis kecil itu, berkas-berkas juga banyak. Tapi ...” Gus Arzian mengangguk mendengarnya, matanya bersitatap lama dengan Gus Arayyan. Seolah saling bertukar pikiran dari sorot mata keduanya.

“Kita pasti sepemikiran,” ucap Gus Arzian.

“Semuanya bahasa Italia, kemungkinan besar orang-orang yang ada dalam organisasi ini, bukan orang sembarangan.” Gus Arayyan mengambil satu buku agenda hitam, menggilirnya lembar demi lembar.

“Wah, ini markasnya? Daebak, aku percaya kalo dikibulin, sekarang ini lagi syuting drama thriller dan mafia-mafiaan.” Terang menganga, melihat ruangan sekeliling.

“Bocah, dari tadi kagum mulu.” Terang mendelik, mendengar perkataan abang keduanya. Tapi mana berani Terang melawan, melihat Gus Arzian yang sedang dalam mode seorang Detektif, bukan Gus atau abangnya yang tengil ketika di rumah.

Hyun Ra berjalan, mendekati salah satu komputer, menghidupkannya, dan mengeluarkan semua flashdisk kosong dari saku dalam jaketnya. “Semuanya, tolong bantu pindahkan semua data ke flashdisk ini ya.”

The ChosenWhere stories live. Discover now