EPILOG

260 28 3
                                    

April, 2006

Saya tidak akan pernah melupakanmu.”
Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di kepala bagaikan lagu sendu yang selalu saya dengarkan di sudut kamar saya.

Kalimat itu seperti kutukan yang akan terus berlarian di kepala saya. Setiap hari, minggu, bulan, bahkan tahun telah berlalu. Dan saya seperti masih terjebak dalam masa itu. Tahun 1996 bagi saya adalah tahun dimana kebahagiaan dan kesedihan datang bersamaan.

Meskipun sudah bertahun-tahun, tapi kepergiannya masih membekas di relung terdalam hati saya. Apakah saya benar-benar tidak akan melupakannya? Jawabannya adalah benar. Saya menepati janji itu. Selalu.

Sampai saat ini pun saya masih belum bisa melupakannya. Atau bahkan saya tidak akan melupakannya sampai kapanpun. Runi adalah kenangan terindah. Jika diibaratkan, saya adalah sebuah resep makanan yang gagal dan Runi datang sebagai pelengkap. Namun, resep itu kembali gagal ketika Runi pergi sehingga hambar kembali menguasai.

Sepuluh tahun berlalu tidak menghasilkan apa-apa. Saya masih berdiri di sini dengan segala kenangan indah yang kami lalui bersama. Kenangan itu sangat sulit untuk saya lupakan, sehingga saya memutuskan untuk menguburnya dalam relung hati saya yang paling dalam.

Hari ini saya sedang santai di depan rumah dengan kopi dan asap seperti biasanya. Karena hari minggu, jadi saya libur bekerja.

Penasaran saya bekerja sebagai apa? Saya memang tidak pernah menceritakan latar belakang pendidikan saya. Tapi untuk saat ini saya akan menjelaskannya.

Dengan berbekal ijazah SE, saya berhasil bekerja di salah satu bank di Bandung. Di tempat kerja, saya bisa profesional. Tapi sedewasa-dewasanya saya, saya hanyalah Danu anak Mamah jika kembali ke rumah. Sama seperti saat ini, saya masih menjadi Danu yang selalu menikmati kopi buatan Mamah.

“Hayolohhh ngalamun wae!” Seketika saja saya tersentak saat Mamah membuyarkan lamunan saya.

Naon ih, Mamah!” Saya cemberut kala Mamah terkekeh geli. Dilihat-lihat Mamah hari ini terlihat cantik. Keriput di wajahnya seolah hilang begitu saja. Beliau hari ini memakai gamis dengan jilbabnya. Saya tebak pasti mau ke pengajian.

“Mau rewang dulu ke Bu Ani,” katanya. Ternyata saya salah menebak.

“Si Ucup mau nikah?” tanya saya dengan mata membelalak.

“Mana ada! Masih kuliah kitu. Adeknya, si Asep yang mau sunat,” jelas Mamah.

“Ohh, Asep.” Saya mengangguk mengerti dengan penjelasan Mamah.

“Aa tuh yang harusnya nikah. Udah tua juga,” seru Mamah.

“Hilihhh baru juga menginjak angka 3, Mah. Tua-tua begini juga masih kasep tau. Iya kan?” sahut saya sambil menyibak rambut bagian depan saya ke belakang membuat Mamah bergeleng kepala.

Adeuyy, anak Mamah meuni gumasep. Untung beneran kasep.” Saya hanya nyengir dengar kata Mamah.

“Gak mau Danu antar?” tanya saya. Saya hanya khawatir saja, karena kesehatan Mamah sudah tidak seperti dulu lagi. Mamah gampang kelelahan sekarang.

Tapi Mamah menggeleng. Katanya, “Gak usah. Mamah jalan wae. Deket.”

“Ya sudah.” Saya iyakan saja. Dan setelahnya, saya kembali menyesap kopi buatan Mamah. Walaupun sudah berumur, tapi saya masih sangat menyukai racikan Mamah. Katanya, di setiap tetesnya penuh dengan cinta.

Namun, baru saja kopi itu mendarat di keeongkongan, kedatangan seorang perempuan berhasil membuat saya membatu. Hampir saja saya tersedak.

“Permisi, Mas. Mau nanya.”

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now