5ㅣAnu-Uni

232 41 11
                                    

Kahlil Gibran pernah berkata, “Tak ada yang lebih indah daripada hari-hari yang dinaungi oleh cinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kahlil Gibran pernah berkata, “Tak ada yang lebih indah daripada hari-hari yang dinaungi oleh cinta.” Dan saya setuju dengan kalimat itu. Semenjak saya bertemu dengan perempuan cantik bernama Arunika, saya seperti melupakan semua warna abu-abu bahkan gelap yang pernah singgah dalam kehidupan saya. Seperti hanya ada warna cerah dalam hidup saya saat ini semenjak dia datang.

Saya tak berbohong. Sehabis mengobrol dengan dia kemarin malam, saya tak bisa tidur dengan nyenyak karena selalu terbayang akan wajah cantiknya. Seluruh isi kepala saya juga seperti sudah dijajahi oleh Runi, seolah-seolah gak membiarkan ada gadis lain yang akan memasukinya.

Saya senyum-senyum sendiri saat mengingat kembali suaranya kemarin malam. Tapi, senyum itu hilang saat saya teringat obrolan kami tentang Ayahnya semalam.

“Kenapa gak jujur aja sama Ayah? Kamu takut sama Ayahku?” tanyanya yang spontan membuat saya terpatung.

“A Danu?”

Saya tersentak dengar suaranya. Iya, saya barusan ngelamun.

“Eh, itu...anu...”

Dia terkekeh di ujung sana.

“Gak usah takut. Ayah baik kok.”

Saya seperti tidak bisa berbicara. Padahal sedang tidak sariawan.

“Kalau gak percaya, besok ajak ngobrol sama ngopi. Waktu itu Aa pernah bilang gitu kan.”

Ah iya, saya ingat pernah bicara seperti itu dengan Runi. Di saat seperti ini secara tiba-tiba saja saya teringat satu hal.

“Pernah ada laki-laki yang main ke rumah kamu gak?” tanya saya.

“Pernah,” jawabnya santai.

“Siapa?”

“A Imin.”

Saya terkejut sekaligus kesal. Kenapa Imin tak pernah bilang ke saya kalau dia pernah ke rumahnya Runi? Apa dia suka sama Runi?

“Dia ngapain ke rumah kamu?” tanya saya lagi. Oke, maafkan saya jika sudah terlihat seperti detektif dengan pertanyaan yang sepanjang rel kereta api.

“Waktu pertama kali kami pindah. A Imin ke rumah bawa kue gitu.”

Saya memakluminya, karena mereka memang tetanggaan. TAPI KENAPA IMIN GAK PERNAH BILANG KE SAYA?!

“Dia ketemu sama Ayah kamu?” tanya saya lagi.

“Iya.”

Oke. Saya kalah start.

“Tapi gak ngobrol. Abis ngasih kuenya, dia pamit pulang,” sambung Runi.

Oke, sepertinya saya belum kalah.

“A Imin lihat Ayah lagi bawa teflon, mungkin dia takut sama Ayah. Makanya langsung pulang,” kata Runi sebelum ketawa.

Ah, jadi itu alasannya. Akhirnya saya tahu kenapa Imin takut sama Ayahnya Runi. Tapi kalau dibayangkan, betulan menyeramkan sih. Bayangkan saja, pria paruh baya berkumis tebal sedang mengangkat teflon di tangannya. Kalau saya jadi Imin mungkin saya lari.

Dia Arunika, 1996 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang