18ㅣKenyataan pahit

137 28 3
                                    

Saya sangat menghargai waktu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saya sangat menghargai waktu. Waktu bersama dengan Runi misalnya. Setiap kali saya bersama dirinya, saya merasa seperti berada di dalam suatu tempat tak berpenghuni. Hanya ada saya dan dirinya seorang. Dan entah kenapa waktu terasa begitu cepat jika saya bersama Runi. Maka dari itu, saya sangat menghargai waktu jika sedang bersamanya. Sebisa mungkin saya manfaatkan waktu itu untuk terus membuatnya paham apa arti kasih sayang.

“A, kamu tau nggak, ayam sama telur itu duluan mana? Kata orang-orang sih ayam yang pertama ada. Kalo menurut kamu siapa yang pertama?” celetuk Runi.

Runi itu cantik. Runi itu pendiam. Tapi Runi juga bisa random. Dan itu fakta yang baru saja saya ketahui setelah saya resmi bersamanya. Ternyata anaknya seru pisan.

Saya tatap matanya seraya menjawab pertanyaannya, “Gak peduli gimanapun omongan orang lain. Bagi saya, kamu yang pertama, Runi.”

Dia tersenyum salah tingkah seraya mendaratkan cubitan pada perut saya. Rasanya ingin sekali saya peluk erat-erat tubuhnya saking gemasnya.

“Bercanda muluuu. Serius ih!” katanya menatap saya sinis. Tapi bagi saya tetap saja gemas yang terlihat.

“Lagian kenapa sih mikirin telur sama ayam? Mereka juga bakalan tetap barengan kalo udah jadi nasi padang,” sahut saya.

Tiba-tiba saja saya melihat air mukanya berubah. Terlihat sedikit terkejut hingga terdiam sebentar sebelum menatap saya lagi.

“Lah, iya ya?!” Dia menatap saya, tapi lelaki yang ditatap ini hanya mengerjap. Jujur saja saya bingung.

“Iihhh bisaan aja ih ngajawabna,” serunya dengan lagi-lagi mencubit gemas perut saya.
(Ngejawabnya)

Saya hanya tertawa saja. Apapun akan saya lakukan untuk membuatnya tersenyum.

Kemudian, saya rangkul pundaknya dan membiarkan kepalanya bersandar pada saya. Dapat saya rasakan tangannya melingkar pada perut saya. Sontak saja seulas senyuman terpatri jelas di bibir saya.

Saya ajak dia menatap jejeran bintang yang membentang di langit Bandung malam ini. Berkelipan begitu cantik seperti insan yang saya kagumi saat ini. Saat ini yang sedang bersama dengan saya.

Malam ini saya sedang berada di rumahnya. Seperti biasa, duduk di bangku taman depan rumahnya sembari berbincang sedikit tentang segala hal, termasuk kerandoman-nya seperti tadi.

Karena kemarin bundanya Runi bilang ke saya jika Runi gak boleh pergi jauh-jauh. Saya jadi merasa menjadi manusia paling jahat yang selalu mengajaknya untuk keluar. Maka dari itu, saya saja yang ke rumahnya. Tidak masalah untuk tidak keluar jalan-jalan. Asalkan bisa bersama Runi saja saya sudah bahagia.

“Kamu lihat bintang yang paling terang itu,” tutur saya sambil menunjuk ke salah satu sisi langit. Di sana Runi mendongak mengikuti arah tunjuk saya.

“Yang mana?” tanyanya sambil menerawang langit.

“Itu yang sendirian dan yang paling terang,” ujar saya sekali lagi dengan menunjuk salah satu bintang yang sedari tadi saya maksud.

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now