12ㅣRedupnya Sang Matahari

151 24 2
                                    

“Mamah bikin kopi dulu,” kata Mamah sebelum memasuki rumah dengan membawa tas berisi belanjaan

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

“Mamah bikin kopi dulu,” kata Mamah sebelum memasuki rumah dengan membawa tas berisi belanjaan.

Saya duduk saja di depan sambil menunggu kopi buatan Mamah. Hari ini saya habis mengantar Mamah ke pasar. Memang seperti ini dari dulu. Mamah gak pernah sekalipun berangkat belanja sendiri, selalu saja meminta saya untuk menemaninya. Saya pun gak pernah menolak, takut dosa.

Tangan saya terulur merogoh saku jaket saya dan mengeluarkan rokok yang ternyata tinggal sebatang. Kemudian saya nyalakan rokok itu.

Gak lama setelah itu, Mamah datang dari dalam membawa secangkir kopi dan gehu. Gehu yang dimaksud adalah gorengan tahu dengan isian tauge yang dibalut tepung.

“Wihhh! Mamah bikin gehu?” celetuk saya seraya menjauhkan asap dari Mamah.

“Nggak. Tadi beli di pasar,” jawab Mamah sambil ikut duduk di samping saya. Tumben sekali, biasanya langsung masuk rumah lagi.

Saya comot satu gehu dan langsung memasukkannya ke dalam mulut saya.

Mamah menatap saya sambil bertanya, “Enak?”

Saya pun mengangguk, “Enak. Tapi masih enakan bikinan Mamah.”

Mamah kemudian berdecih sambil terkekeh memukul pelan pundak saya.

“Habisin,” katanya sambil terus menatap saya. Bibirnya terus tersenyum. Saya bingung sendiri. Ada apa dengan Mamah saya hari ini?

Naha?” tanya saya.
(Kenapa?)

“Apanya?” Bukannya menjawab, Mamah malah balik tanya.

Saya berhenti menggigit gehu dan mulai bertanya, “Danu ada salah ya, Mah? Kalo ada salah Danu minta maaf ya.”

Mamah malah ketawa dengar kata saya.

“Ih nggak. Kata siapa kamu ada salah.”

“Terus kenapa Mamah ngelihatnya gitu banget? Danu takut,” ujar saya sambil menatap Mamah ngeri.

“Gak papa. Suka aja lihat anak Mamah makan lahap,” jawabnya.

Saya cuman mengerjap sambil kembali mengunyah. Bingung saja, Mamah kok jadi begini.

“Mamah lagi ada masalah? Cerita aja sama Danu.” Bukannya jawaban, yang saya lihat hanya gelengan kepala saja.

Tapi beberapa detik kemudian Mamah berkata, “A, kamu tahu gak, kenapa Mamah selalu minta kamu antar ke pasar?”

“Biar ibu-ibu pasar tahu kalau Mamah punya anak kasep.” Jawaban saya bukan jawaban ngawur. Karena Mamah pernah bilang begitu sama saya waktu saya tanya. Tapi, kali ini Mamah tertawa.

“Iya, Mamah pernah bilang begitu. Tapi jawaban sebenarnya bukan itu,” ujarnya.

Saya menoleh dan menatap Mamah, “Terus?”

Dia Arunika, 1996 ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon