3ㅣJangan suka saya

318 52 14
                                    

Saya hari ini berangkat kuliah seperti biasa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saya hari ini berangkat kuliah seperti biasa. Biasanya kami berangkat berempat bareng-bareng. Tapi, sekarang saya cuman bareng sama Endra. Karena Endra memang satu RT dengan saya.

Entah kenapa semenjak Runi salah mengira saya adalah Imin, saya merasa kesal sendiri. Rasanya campur aduk kayak asinan. Manis, asem, asin, pedas jadi satu. Dan saya juga kesal sama Imin, padahal Imin juga tak salah.

Saya enggan ke rumah Imin dulu. Kalau saya ke sana, otomatis bisa ketemu sama Runi. Karena saya dengar-dengar, Runi itu tidak kerja juga tidak kuliah. Di rumah saja. Saya tidak menghindar dari perempuan itu, cuman saya masih kesal sendiri. Tidak tahu, rasanya kesal saja.

Selain itu saya juga kesal sama Citra. Karena anak Pak Kades itu pasti bilang kalau nomornya buat Imin, bukan buat saya.

Makanya, siang ini, saya mau ketemu sama Citra sepulang kuliah. Saya mau bicara serius sama dia.

Waktu mata saya berhasil menemukan Citra, ternyata anak itu lagi asyik mengobrol sama temannya. Saya panggil tuh.

“Citra!”

Citranya menoleh, terus saya melambaikan tangan biar dia datang nyamperin saya.

“Kenapa?” tanyanya.

Saya lambaikan tangan lagi, “Sini dulu atuh.”

Citra pun berdiri. Waktu perempuan itu mau ke sini, teman-temannya pada nyorakin dia. Di-cie-ciein gitu. Saya tidak tahu maksudnya apa.

“Kenapa A?” tanya Citra saat sudah ada di depan saya.

“Kamu bilang ke Runi kalo nomornya buat Imin ya?” tanya saya.

Citra menepuk keningnya sendiri, “Ya ampun, A. Iya, lupa. Kalo aku tau nomornya buat A Danu mah dari awal aku bilang aja sama si Runi,” jawabnya.

Saya menghela napas berat, “Kamu harus tanggung jawab.”

Citra mendelik, “Tanggung jawab apa sih A? Aku gak ngapa-ngapain Aa juga!”

“Gak gitu! Gara-gara kamu bilang itu nomornya buat Imin, semalem Runi jadi salah sangka,” jelas saya.

“Salah sangka kumaha?” tanyanya.

“Dia ngira saya Imin.”

Seketika perempuan di depan saya ini ketawa keras. Beuh, ingin saya sumpel saja mulutnya. Kesal, saya.

“Aduhh, maaf A. Kan aku gak tahu,” sahutnya.

“Ya sekarang kamu harus tanggung jawab. Kamu bilang sama dia kalo itu nomornya buat saya, bukan buat Imin,” tutur saya sebelum Citra mengiyakan.

Setelah itu saya pergi dari fakultas Citra. Saya memutuskan pulang saja karena hari juga sudah siang.

Tapi siang ini saya naik angkot karena Endra tidak bisa pulang bareng saya. Katanya ada urusan. Saya kesal sih, tapi tak apa. Saya bisa pulang sendiri.

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now