8ㅣSalah paham

178 30 4
                                    

Saya bertemu dengannya lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saya bertemu dengannya lagi. Kali ini kami berjalan di suatu taman dengan banyaknya bunga-bunga. Di satu sisi ada bunga Lily, di sisi lainnya ada bunga mawar.

Saya terpikirkan sesuatu sebelum berkata, “Runi, saya tahu semua bunga-bunga di sini sangat cantik. Tapi itu semua tak akan pernah mengalahkan kecantikanmu.”

Dia terkekeh dengan memukul pelan pundak saya, “Bisaan ih.”

Tapi, kemudian saya melihat tangannya terulur memetik satu bunga berwarna merah. Itu bunga mawar merah. Bunga itu diberikan pada saya.

Saya menaikkan kedua alis saya sebagai tanda penasaran.

“Buat Aa,” katanya.

Saya pernah mendengar jika bunga mawar merah itu dipercaya sebagai simbol yang menunjukkan rasa cinta. Dan barusan Runi memberi saya bunga mawar merah. Berarti, secara tidak langsung dia memberikan rasa cintanya untuk saya. Arkhh saya jadi salah tingkah.

“Coba cium aromanya, pasti harum,” tuturnya.

Seperti katanya, saya hirup aroma bunga itu. Tapi, tidak harum yang tercium, melainkan aroma bangkai yang disusul dengan bunyi ‘preeett’.

“Runi?” saya lihat dia tertawa.

Kemudian saya mengerjap sebentar. Lalu, tiba-tiba saja Runi menghilang digantikan dengan wajah Imin yang tertawa sangat kencang.

Sial. Ternyata saya ketiduran di rumah Imin. Saya terbangun setelah Imin dan yang lainnya menjaili saya. Sialan memang.

“Anjing sia goblog.” Saya kesal terbangun dengan bau bangkai yang baunya tidak hilang-hilang dari hidung. Tadi Imin kentut tepat di muka saya. Ini kalau saya mengadu ke Abahnya pasti dimarahi dia. Tapi saya gak setega itu.

Mereka cuman tertawa gak berhenti-berhenti waktu segala sumpah serapah keluar dari mulut saya.

Enak-enak bertemu dengan bidadari cantik eh tiba-tiba tercium bau bangkai. Kalau dia bukan kawan saya, sudah saya habisi dia.

“Bau banget anying!” saya masih menutup hidung saya. Mereka masih tertawa. Mata saya dapat melihat Imin tertawa begitu kencang sambil menggebuk-gebuk pundak Endra. Junet pun begitu, tawanya gak kalah nyaring.

“Tega kalian mah.” Saya berlagak pundung tapi mereka lagi-lagi tertawa.

“Maap ya, Nu. Idenya Endra tuh,” kata Imin sambil mengusap pundak saya.

“Udah ilang ih, kentutku gak sebau itu ya,” serunya lagi sambil menarik tangan saya dari hidung.

Gak bau katanya? Baunya sebelas dua belas sama bangkai begitu gak bau katanya? Lain kali kalau dia kentut lagi, akan saya masukkan botol lalu saya sodorkan ke hidungnya biar dia tahu sebau apa senjatanya itu.

“Maap, Nu. Lagian maneh susah banget dibanguninnya,” ucap Endra.

Saya masih kesal. Kesaaalll pisan. Awas saja ya kalian nanti, saya aduin ke Mamah.

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now