PROLOG

1.5K 127 10
                                    

Di malam ini, lebih tepatnya malam minggu. Di pertengahan bulan April tahun 1996. Laki-laki tampan dengan perawakan sedang, tak kurus juga tak gemuk sedang berjalan menyusuri Jalan Dago. Itulah saya.

Mata saya berkeliling melihat suasana malam ini yang nampak sedikit ramai dari biasanya. Banyak sekali barudak-barudak bandung yang sedang nongkrong di jalanan ini. Mata saya juga menemukan segerombol komunitas motor yang juga nongkrong sambil tertawa-tertawa. Tapi sabodo teuing, saya hanya berjalan menuju Toko Kaset Aquarius yang memang berada di Jalan Dago. Ya...karena memang dari awal niat saya hanya ingin ke tempat itu.

Sampai depan toko, waktu saya hendak membuka pintu, saya berpapasan dengan keluarnya perempuan cantik dengan pakaian serba merah jambu. Rambutnya pendek sebahu, kulitnya putih, bibirnya tersenyum saat melihat saya.

“Gusti nuh agung. Meuni geulis pisan,” kata saya dalam hati.

Hati saya meleleh sejenak. Sampai-sampai saya tidak bisa mengendalikan senyum saya juga. Ya kali disenyumin perempuan cantik tak dibalas. Saya kan pemuda baik, jadi saya senyumin saja.

Saya masih termengu sambil terus menatap perempuan itu. Saking terpesonanya, saya sampai tak sadar kalau ada seseorang yang berteriak keras banget. Sekeras kentutnya Imin---kawan saya.

“WOY! NGEHALANGIN JALAN AJA!” katanya dengan matanya yang melotot. Saya langsung minta maaf dan minggir biar dia bisa lewat. Karena, jujur saja, saya takut. Badannya gede banget. Di telinganya juga pakai anting kecil. Saya takut atuh.

Setelah itu, saya kembali teringat dengan perempuan merah jambu tadi. Buru-buru saya tanya sama akang-akang yang jaga toko.

“Kang, kenal perempuan merah jambu yang baru aja keluar tadi?” tanya saya.

Kunaon ih! Baru datang langsung nanya perempuan.”

“Jawab aja atuh, Kang.”

Teu nyaho. Tetehnya cuma beli kaset terus pulang,” jawabnya.
(Gak tahu.)

Saya mikir sejenak sebelum nanya lagi. Tapi, baru saja mau nanya, Akang tadi mulai bicara.

“Eh, dompetnya ketinggalan.”

“Dompetnya siapa, Kang?” tanya saya.

“Perempuan tadi kayaknya.”

Entah suatu kebetulan atau apa. Perempuan itu datang lagi. Mukanya kayak lelah. Mungkin habis lari-larian.

“Kang, dompet saya ketinggalan, ya?”

“Eh iya, ini dompetnya teteh?”

Perempuan itu melihat dompetnya. Dan ternyata betul, itu dompetnya yang ketinggalan. Setelah itu jelas dia balik lagi tanpa menoleh ke saya. Padahal saya berharap disenyumin lagi. Entah lelaki tampan yang biasanya pemalu ini kenapa bisa sangat percaya diri seperti ini. Tiba-tiba saja saya menghampirinya dan mengulurkan tangan saya di depannya.

“Danu,” kata saya.

Dia hanya menatap saya datar. Kayaknya bingung.

“Nama teteh siapa?” tanya saya padanya.

Sekali lagi dia senyum sama kayak tadi, waktu dia keluar pintu. Setelahnya, dia pergi lagi tanpa ngomong. Dan yang jelas tanpa membalas uluran tangan saya.

Saya ingat namanya meski butuh berhari-hari lamanya saya mengetahuinya dari hari semenjak kita bertemu di Aquarius.

Saya ingat senyumnya. Senyumnya yang tak pernah tertinggal di wajahnya. Wajahnya yang bagi saya itu mirip Nike Ardilla. Cantik. Cantik sekali.

Saya ingat semuanya. Ingat waktu dia tertawa karena guyonan yang kalau kata Junet garing banget, tapi bagi dia tetap lucu. Saya juga masih ingat waktu dia tertawa saat saya salah kira dia lebih tua dari saya. Ingat waktu dia kesal karena saya selalu bercanda perihal menikah dengannya.

Saya suka dia. Suka semuanya yang ada pada dirinya. Saya cinta dia. Saya rindu dia.

Dia, Arunika. Perempuan cantik yang satu tahun lebih muda dari saya. Perempuan merah jambu dengan sejuta senyuman yang saya temui di tahun 1996.






































Haiii sahabat😆👋🏻
Aku kembali lagi.
Kangen teu? Haha..
Baru prolog nih. Langsung aja cuss ke chapter satu 👇🏻👇🏻👇🏻

Dia Arunika, 1996 ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu