11ㅣMagis perekat

160 24 4
                                    

Tetesan air hujan jatuh membasahi jalanan tak jauh dari tempat saya berada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tetesan air hujan jatuh membasahi jalanan tak jauh dari tempat saya berada. Langit Bandung sejak sore tadi sudah berwarna kelabu. Dan hujan mulai datang saat matahari sepenuhnya beristirahat. Kali ini saya terduduk di atas sofa sambil memandangi tetes demi tetes air hujan dari sebalik kaca jendela rumah saya.

Saya usap perlahan kaca yang sudah tertutup embun. Di ujung sana, mata saya menemukan dua orang yang tengah berjalan berdampingan di bawah guyuran hujan. Tak ada payung yang mereka genggam, hanya ada satu tas yang salah satu dari mereka gunakan untuk melindungi diri dari derasnya hujan.

Bukan dua sejoli. Melainkan seorang pria paruh baya dengan satu anaknya. Kedua tangan pria itu melindungi anaknya dari derasnya air hujan menggunakan tas yang sepertinya biasa dia bawa untuk bekerja. Pria itu seperti tak ingin jika anaknya kehujanan meskipun sebuah tas saja tidak cukup menghalau derasnya hujan. Bahkan saya bisa melihat bajunya sudah basah kuyup di samping tangannya yang terus melindungi anaknya.

Entah kenapa di saat seperti ini saya malah rindu dengan Ayah. Dulu sekali saya juga pernah berada di bawah guyuran hujan bersama Ayah. Kala itu saya masih menjadi anak yang bandel. Saya tak mau berhenti bermain hujan sampai Ayah turun tangan. Beliau sekonyong-konyong berjalan dengan mengangkat sarungnya agar tak menyentuh genangan air. Tangan kanannya membawa payung untuk melindungi kita berdua, sedangkan tangan kirinya menjewer telinga saya di tengah derasnya hujan dan melupakan sarungnya yang sudah basah terkena genangan air.

Yang pernah saya bilang, selain suka Runi, saya juga suka hujan. Dulu waktu kecil, seringkali saya bermain di bawah guyuran hujan. Kata Mamah, saya memang nakal dari dulu dan tak mau menurut jika Mamah menyuruh untuk masuk rumah saat hujan semakin deras. Padahal dari dulu saya selalu mendapat didikan keras dari kedua orang tua saya. Terutama Ayah, seringkali Ayah memberikan wejangan untuk saya agar bisa menjadi bekal di masa depan.

Ayah selalu menjadi idola saya sejak dulu hingga nanti. Sejak kecil saya merasa lebih akrab dengan Ayah ketimbang dengan Mamah. Meskipun Ayah berwatak keras, tapi saya selalu senang jika sudah mendengar nasihatnya.

Ayah itu adalah Ayah paling hebat sedunia ini bagi saya. Dulu, saya selalu ingin menjadi seperti Ayah. Sampai dimana Ayah berkata jika saya harus menjadi diri saya sendiri.

Saat itu, saat baru saja memasuki masa pubertas saya. Di depan rumah, di atas dipan yang selalu menjadi tempat saya berbincang dengan Ayah. Setelah menyesap kopinya, beliau menunjukkan tangannya sambil berkata, “Tangan ini gak selamanya bisa menggenggam tanganmu, nak. Ada masanya kamu harus berjalan sendiri tanpa genggaman dari Ayah. Dengan langkahmu sendiri tanpa genggangaman Ayah lagi. Di situ kamu harus jadi diri kamu sendiri, jangan berusaha jadi seperti Ayah. Karena Ayah membesarkan dan mengajarkanmu tumbuh menjadi seorang lelaki, bukan menjadi seperti Ayah.”

Tapi maaf Ayah, saya akan menjadi diri saya sendiri yang seperti Ayah. Selamanya, Ayah adalah sosok terhebat yang pernah Tuhan hadirkan di kehidupan saya.

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now