17ㅣMaaf, katanya

136 32 2
                                    

BLAMM!!!

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

BLAMM!!!

Suara pintu yang ditutup dengan keras menggelegar sampai ke gendang telinga saya. Sehingga membuat saya beserta Junet dan Endra tersentak begitu melihat Imin dengan tatapan tajamnya keluar rumah.

“KAMU SEKARANG SUDAH BERANI MEMBANGKANG SAMA ABAH YA! MUHAIMIN! SINI KAMU!” Telinga saya dapat mendengar dengan jelas bagaimana Haji Solihin alias Abahnya Imin berteriak begitu keras dari dalam rumah.

Sedangkan Imin tak menghiraukan dengan terus berjalan ke arah kami. Saya bisa merasakan aura tak mengenakan dari wajah Imin. Lelaki itu memang memiliki mood yang berubah-ubah. Jika sudah dalam keadaan seperti ini, biasanya tidak kami ajak dia ngomong dulu. Tunggu mood-nya kembali bagus.

Sebenarnya saya tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi melihat aura Imin yang lebih menyeramkan dari biasanya membuat jiwa-jiwa penasaran saya bergejolak. Imin terlihat tidak baik-baik saja. Bahkan saya tak pernah melihat ekspresi itu ada di wajahnya selama bersahabat dengannya.

“Min...” saya usap pundaknya. Mata saya berpindah ke bawah, dapat saya lihat kedua tangannya yang mengepal kuat. Saya tahu, Imin memang seperti itu. Dia sangat sulit mengendalikan emosinya. Jika Junet melampiaskan emosinya dengan mengomel, berbeda dengan Imin yang memilih untuk diam.

“Kita berangkat dulu. Nanti cerita di kampus.” Endra ikut menyahut seraya menarik pelan lengan lelaki itu untuk segera berangkat ke kampus.

Dan berangkatlah kami menuju kampus. Hari ini saya berboncengan dengan Junet. Sedangkan Endra membawa Imin yang masih terlihat kesal. Saya tidak tahu apa masalahnya sampai bisa sekesal itu. Padahal ini masih pagi.

Kemudian saya coba sapa Junet yang ada di depan saya, “Jun.” Dia hanya berdeham.

“Imin kenapa ya? Kok tiba-tiba mode aing maung gitu?” tanya saya pada Junet.

“Gak tahu juga, Nu. Yang jelas pasti ada masalah sama Abahnya. Maneh denger juga kan tadi Abahnya teriak emosi begitu. Aing takut banget tadi, gak pernah lihat Haji Solihin semarah itu,” ujar Junet.

Helaan napas panjang keluar begitu saja dari hidung saya. Ini bukan menjadi masalah saya. Tapi, jika menyangkut dengan orang terdekat saya, pasti diri ini secara tak langsung dibuat kepikiran juga.

***

“Cerita aja, ada apa?” celetuk Endra.

Siang ini kami sedang berkumpul di kantin. Saya gak tahu emosi Imin sudah mereda atau belum. Saat ini yang saya lihat hanyalah Imin yang masih terdiam.

“Iya, Min. Ada masalah apa? Cerita aja sama kita-kita.” Saya di sana ikut menyahut.

Tangan yang semula mengaduk asal batagornya itu kini terhenti, matanya menatap kosong ke depan. Imin dalam keadaan seperti sangat menakutkan.

Dia Arunika, 1996 ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu