13ㅣSurat Pengantar Permohonan Maaf

129 25 2
                                    

Sudah dua hari ini saya tidak bertemu dengan Runi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sudah dua hari ini saya tidak bertemu dengan Runi. Bukan karena tak sengaja tak bertemu, tapi lebih tepatnya saya menghindar.

Entahlah. Saya hanya ingin menjauh darinya. Rasanya saat ini adalah bukan waktu yang tempat untuk bicara dengannya. Karena saya masih kesal. Tapi anehnya saya juga rindu.

“Sudahlah Danu! Carilah tempat dimana kamu dihargai, bukan dibutuhkan!” Saya tersentak kala Junet menggebrak meja dengan keras seraya berujar lantang.

“Heh! Ssuutt. Malu-maluin ih.” Saya kembali membawa Junet untuk kembali duduk, karena lelaki itu barusan berdiri dengan raut wajah tidak mengenakan.

Kami hari ini sedang berada di warung Mang Jajang yang tak jauh dari rumah Imin. Waktu makan siang tadi, saya tiba-tiba kepingin makan bubur ayamnya. Warung ini selalu ramai orang yang berdatangan. Jadi, malu saja jika tiba-tiba semua mata tertuju ke kami karena ulah Junet.

“Junet bener, Nu. Harusnya kamu cari cinta lainnya aja. Cari seseorang yang mencintai kamu, bukan yang kamu cintai.” Endra ikut berujar lantang. Tapi kali ini tidak dengan menggebrak meja seperti Junet, melainkan tangannya itu menunjuk-nunjuk saya.

“Kita di sini bukan mau ikut campur sama urusan percintaanmu, Nu. Tapi kita sebagai kawanmu cuman ingin yang terbaik aja buat kamu,” seru Junet lagi. Lelaki itu sudah merendahkan suaranya.

“Betul. Sebagai lelaki, jangan biarkan harga dirimu diinjak-injak,” tutur Endra.

Ini kenapa sampai bahas harga diri sih?

“Iya. Selama ini kamu gak diberi kepastian kan sama dia. Digantung terus kan? Kamu ngerasa gak, kalo selama ini kamu kayak dipermainkan? Ayolah, buka matamu, Nu,” kata Junet sekali lagi.

“Ini mata saya sudah terbuka lebar gini mau dibuka kayak gimana lagi?” sahut saya.

Jujur saja, saya tidak tahu harus berbuat seperti apa. Runi yang saya tahu, tidak akan berbuat buruk seperti itu. Dia bahkan tak pernah memilih untuk saya cintai. Tapi saya yang memilih untuk mencintainya.

“Berdiri di atas ketidakpastian itu sama aja menginjak bara api yang panas, Danu.” Imin yang dari tadi terdiam pun turut bicara.

“Iya. Dan saya juga gak pernah tahu kapan saya akan berdiri di bara api itu,” ujar saya.

“Makanya kamu harusnya melangkah lagi dari bara api itu. Jangan berdiri terus di atasnya. Cari langkah baru yang gak bikin kakimu sakit!” Imin kali ini meninggikan suaranya. Aduh, kawan-kawan saya ini sepertinya sedang kesal.

“Udah lah jauhin aja! Cari yang lain! Atau nggak sama si Citra aja. Semenjak kamu ngedeketin si Runi, kamu jadi jarang main sama kita-kita ini,” ujar Junet lagi. Lelaki itu mengernyitkan matanya.

Betul juga apa yang Junet katakan. Semenjak kenal Runi, waktu main saya sama kawan-kawan saya ini jadi sedikit terganggu. Saya sudah jarang nongkrong sesering sebelum ada Runi.

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now