CHAPTER 23: ANOTHER SIDE

923 82 11
                                    

5 Tahun lalu...

Segerombolan siswa berpakaian seragam SMA mulai menghambur keluar dari gedung sekolah berjalan ke area parkir. Beberapa mobil jemputan mulai menepi menunggu tuannya naik. Sudah tentu itu anak-anak yang dibesarkan dengan blue print yang sudah jelas.

Pengasuh yang kini sedang membukakan pintu mobil itu bukan sekedar menyuapinya makan atau sesederhana membawakan makan siangnya. Lebih tepat itu sekretaris pribadi anak itu. Pengasuh next level yang akan memastikan hidup anak itu sesuai kemauan orang tuanya.

Another one, tipe-tipe anak baik nan beruntung dengan privilege orang tua atau kasta, mereka ke sekolah dengan mobil pribadi tanpa peduli soal izin mengemudi itu sendiri. Di negara ini, itu sudah biasa.

Anak lain yang mungkin kurang beruntung berjalan sedikit lebih jauh menuju halte dimana angkutan dan bus umum siap menunggu. Kelas menengah. Tentu saja, hanya beberapa siswa yang di halte menunggu angkutan umum dibandingkan  yang mengendarai sedan mewah berbagai merek yang mulai beranjak perlahan keluar dari lingkungan sekolah tadi.

Segelintir kelas menengah yang beruntung itu memang kelas paling bawah disini. Mata jeli Erena mengamati setiap interaksi yang tertangkap matanya sembari tersenyum dan otak pintarnya mulai menganalisis.

Sejak awal, manusia memang hidup dalam kelas yang berbeda dan jurang pemisah antar kelas seolah dapat dikatakan mustahil ditembus meskipun paham seperti liberalisme dan kapitalisme sudah menyebar.

Erena mengetuk-ngetukkan jarinya pada setir mobil saat gerumunan yang menghibur matanya mulai surut. Ia mulai bosan saat beberapa kali memutar leher melihat seseorang yang ia tunggu dari sejam yang lalu belum keluar dari gedung sekolah.

"Tuh anak dimana sih?", gerutu Eren sembari mengecek handphonenya.

Ia menekan tombol panggil sekali lagi dan hanya nada operator yang terdengar. Ia mulai terlihat sebal.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...

Tok tok

Suara jendela mobil yang diketuk membuat Erena yang menggerutu sendiri mengalihkan pandangan keluar. Gadis yang sejak tadi ia tunggu tersenyum lebar tanpa rasa bersalah dan meminta Erena menurunkan kaca mobil dengan gerakan tangan.

"Open the door!"

---

"Lo lama banget!", protes Erena sebal saat Clara duduk di kursi penumpang.

Gadis itu melemparkan ranselnya sembarangan ke jok belakang dan memasang seatbelt tanpa melirik Erena.

"Gue latihan basket dulu, gue pikir lo akan telat lagi", jawabnya enteng.

Erena menghela nafas kesal. Ia menunjukkan benda pipih yang ia pegang, "Kan lo bisa telpon gue biar gue ga sia-sia nungguin lo sejam lebih", ucap Erena gemas.

Clara terkekeh. "Sorry baterai gue abis sejak jam istirahat pertama"

"Are you sure?", tanya Erena dengan tatapan penuh selidik.

Pasalnya bocah didepannya ini tidak lagi anak kecil yang 7 tahun lalu ia kenal. Sejak pindah dadakan dari Melbourne sebulan lalu, gelagatnya sudah berbeda.

Clara tak menggubris Erena yang menoel lengannya. Ia mengalihkan pandangan ke gerbang sekolah yang mulai tertutup otomatis. "Hmm"

"Lo ga bikin masalah lagi kan?", tanya Erena sekali lagi memastikan.

"Emang gue bisa ngapain di sekolah norak kayak gini sih kak? Bahkan ngerokok aja dilarang", jawab Clara jengah.

Kekesalannya kembali ketika ingatan tadi pagi dimana rokok yang baru ia beli diinjak dan dibakar didepan matanya oleh ketua OSIS sialan itu tanpa kasihan. Erena membelalakkan mata dan menarik lengan Clara agar gadis itu menatapnya.

THESIS 2: CAN LOVE BE THE ANSWER?Where stories live. Discover now