10. Feels

131 14 0
                                    




"Udah?"

Seokjin menepuk-nepuk pelan punggung sang pemuda yang masih naik turun mengeluarkan isi perutnya di tepi jalan.

Ia menoleh pada ketiga sahabatnya yang tertawa-tawa geli beberapa meter dari mereka.

Sesaat kemudian Namjoon mengangguk.

Seokjin menyerahkan sebotol air mineral.

"Gw bilang juga jangan banyak-banyak, Nam...."
"Lo ga kuat minum ya?" Ia terkekeh.

"S-sorry jadi ngerepotin...." Namjoon tertunduk mendorong kacamatanya setelah meneguk air dingin dari botol yang diterimanya.

"Bisa jalan? Gw anter pulang ya..." Seokjin memapah tubuhnya.

Motor besar itu melaju pelan di jalan lengang. Lewat tengah malam hampir pagi mereka tiba di depan sebuah rumah besar berpagar tinggi.

Pemuda berkacamata itu turun dan berdiri di samping motornya. Kedua manik mata mereka bertemu setelah keheningan canggung yang berlangsung beberapa detik lalu.

"Mau mampir?"
"Eh....ngga ya.....udah malem banget" Namjoon mengusap tengkuknya malu.

Seokjin terkekeh pelan. "Udah pagi ini, Nam...."
"Bilang bokap lo sorry gw ngajak lo begadang kaya gini"

"Bokap lagi ngontrol perusahaannya di luar kota..."

"What?!"
"Percuma dong gw ngajak lo maen ampe pagi" Kutuknya dalam hati.

"Thanks ya udah ngajak gw..."
"Thanks juga udah nganterin jauh-jauh"

"N sorry gw culun ga kuat minum..."

"Ternyata lo ga jahat-jahat banget sama gw...."

Seketika wajah Seokjin panas mendengar semua ucapan lirih sang pemuda.

"S-sama-sama..." Seketika itu pula ia menyesali jawabannya.

.

.

.

"Apa ini?"

Kedua mata Seokjin membelalak ketika sang ayah mengangkat sebuah kantung plastik kecil berisi obat-obatan.

Di sebelahnya teronggok tas sekolahnya yang terbuka.

"Kamu kira Ayah ga ngecek stok obat-obatan Ayah huh?"

Seokjin menelan ludahnya susah payah. Tak mampu berkata apa-apa, hanya menatap wajah murka sang ayah yang duduk di sofa ruang tamunya.

"JAWAB!"
Suara menggelegar itu membuat bahu lebarnya berjengit kaget.

"A-aku pake obat itu biar ga ngantuk Yah..."

"Kalo ga mau ngantuk ya jangan pulang pagi terus! Bukan pake Amfetamin!"
"Kalo kamu OD gimana?!"

"Ayah yang susah! Ayah yang malu!"

"Malu ya? Bukannya khawatir?" Seokjin menunduk setelah kedua alisnya terangkat kecewa.

"Wali kelas kamu nelpon lagi kemarin siang"
"Bener kamu masukin obat tidur ke makanan temen kamu?"

Seokjin menggeleng ragu. Kedua matanya perih menahan emosi yang siap tumpah. "S-siapa yang bilang begitu?"

"Dinding punya mata dan telinga, Seokjin"
"Kamu bisa merasa sok kuat diantara teman-teman sekolahmu"

"Tapi lambat laun akan ada orang-orang yang dendam dan membeberkan kejelekan kamu"

"Mau sampe kapan sih kamu jadi beban Ayah terus?"
Beliau menghela napas dan memijit keningnya.


"Udah.....berangkat sekolah sana!"
"Muak Ayah liat muka kamu..."





"Bapak menanyakan tuan muda tadi malam..." Sang sopir menoleh singkat pada Namjoon yang duduk menatap jendela di baris belakangnya.

"Terus? Pak Jung bilang apa?" Ia membulatkan matanya kaget.

"Maaf tuan muda, Saya tidak berani berbohong..."
"Saya bilang tuan muda pergi dengan kawan-kawannya..."

Namjoon memejamkan matanya singkat. "Papa marah?"

"Saya kurang mengerti, tuan muda..."
"Beliau hanya menghela napas dan memastikan Saya mengantar tuan muda ke sekolah hari ini"

"Maaf tuan muda....."

Namjoon mendengus tersenyum. "Ga apa-apa Pak Jung..."
"Aku ngerti kok..."

"Sampai di sekolah aku bakal telpon Papa buat minta ma...."
Ucapannya terpotong bersamaan dengan motor hitam besar yang lewat di samping mobilnya lalu berhenti berdampingan dengan motor lain di sebelahnya saat lampu lalu lintas menyala merah.

Namjoon tersenyum lebar dan menekan tombol pembuka jendela. Sedetik kemudian senyumnya memudar, niat menurunkan daun jendela itu pun urung.

Pemuda tak berhelm itu mengusap mata dan hidungnya kasar dengan sarung tangan hitamnya.

"Seokjin?"
"Seokjin nangis lagi?"

Tak menunggu lampu lalu lintas berubah warna, motor itu menggerung dan melaju kencang.

My Happy PillWhere stories live. Discover now