20ㅣAnyelir Merah Jambu

196 28 6
                                    

Dalam kehidupan, akan ada banyak hal yang tak terduga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dalam kehidupan, akan ada banyak hal yang tak terduga. Sama seperti kisah saya dan Runi. Awal pertemuan kita memang begitu klise. Saya tak pernah menyangka berpapasan dengannya di sebuah toko dapat membuat saya terjerat akan pesonanya. Sehingga saya benar-benar terjebak dalam tempat bernama cinta.

Awalnya saya merasa putus asa, namun seiring berjalannya waktu saya sadar jika hal baik kini berpihak pada saya. Runi yang akhirnya menjadi milik saya adalah sebuah keajaiban bagi saya.

Lelaki biasa yang hanya bermodalkan cinta bisa mendapatkan seorang gadis seperti Runi adalah suatu pencapaian terbesar dalam hidup saya. Bagi saya, Runi adalah dunia saya. Jika dunia saya runtuh, maka saya juga akan runtuh.

Melihatnya terbaring lemas seolah-olah membuat hati saya berhenti begitu saja. Saat dia bilang saya harus pulang, saya menolak. Saya ingin menemaninya 24 jam. Bahkan jika bisa, saya ingin menemaninya sampai kapanpun.

“Pulang ya, A. Udah sore, nanti Bu Endah nyariin,” ujarnya pelan.

“Sama kamu. Saya mau pulang, kalo kamu juga pulang,” seru saya.

Dia hanya tersenyum sekilas, “Iya nanti pulang kok. Sekarang Aa pulang ya.”

“Kamu juga pulang atuh, Runi. Suka banget sih tidur di sini. Enakan di rumah tau,” kata saya lagi yang membuatnya terkekeh.

“Iya deh janji ini yang terakhir tidur di sini,” katanya.

“Aamiin. Janji ya.”

Dia mengangguk, “Iya. Udah sekarang kamu pulang.”

“Iya, nanti kalo Bunda kamu udah balik,” kata saya.

Di sana, saya tatap dirinya lekat. Di ruangan ini hanya ada kita berdua. Bundanya Runi masih di luar. Sedangkan Imin juga masih belum kelihatan.

“Saya selalu serius dalam memiliki kamu, Runi. Cepat sembuh ya. Nanti kalo kamu sembuh, saya akan lamar kamu.”

Dapat saya lihat, senyuman yang awalnya terpatri jelas di wajahnya hilang begitu saja.

“Saya gak bisa kalo gak sama kamu Runi. Kamu itu sudah jadi bagian terpenting dalam hidup saya.” Setelahnya saya lihat dia tersenyum tipis.

“Nanti kamu kasih aku bunga kan? Waktu itu udah pernah janji loh kalo mau ngasih aku bunga.” Saya mengangguk menanggapi perkataannya.

“Jangankan sekuntum bunga, sekebun-kebunnya saya siap bawakan untuk kamu.” Dia terkekeh mendengar ucapan saya.

Saya serius. Saya selalu menepati janji saya. Nanti, saya akan melamar Runi jika waktunya sudah tepat.

“Yaudah, pulang gih,” katanya waktu Bundanya Runi memasuki ruangan dengan menenteng kantong kresek.

“Ngusir banget ih, Runi,” rengek saya. Di sana, dia kembali tersenyum.

Dia Arunika, 1996 ✔Where stories live. Discover now