49 || Sudah Terjadi

Start from the beginning
                                    

"Maaf ...."

"Maaf untuk apa?" Giliran Zayden yang menyela. Ia tidak suka dengan kalimat maaf yang keluar dari mulut seorang dokter. Ia akan teringat ketika dokter yang menyatakan bahwa sahabatnya—Dylan tiada. Zayden tidak mau itu terulang lagi, sungguh.

"Anak saya baik-baik aja, kan?" Giliran Alara yang bertanya. Bibirnya masih bisa mengukir senyum walau matanya tidak bisa berbohong. Sungai kecil sudah mengalir di pipi putih wanita muda itu.

"Kia baik-baik aja, kan, Dokter Wandra?" imbuh Alara.

Zaina yang berdiri di belakang Alara hanya bisa menunggu jawaban dari dokter laki-laki itu. Ia sedikit heran kenapa Alara bisa tau nama dokter itu. Harusnya Zaina tidak heran, karena sudah ada papan nama di dada dokter tersebut.

"Pak Elvano, Bu Alara ... saya tidak sanggup mengatakan ini, tapi saya harus mengatakannya," kata pria berjas putih tersebut. Terdengar helaan napasnya karena menyesalnya dan tidak enak.

"Jangan katakan apapun," lirih Alara menutup mulutnya rapat-rapat menggunakan telapak tangannya. "Jangan katakan hal buruk tentang putri saya, Dok, saya mohon," imbuhnya. Alara mundur beberapa langkah. Wanita itu hampir saja jatuh jika tidak Zaina tahan.

Elvano membeku. Lidahnya kelu, untuk sekedar bertanya lebih lanjut ataupun memprotes. Ketakutan terbesar di dalam hidupnya apa sudah terjadi?

"Dokter? Apa maksudnya? Tolong jelaskan dengan benar!" tuntut Zayden.

"Ananda Azkia Anindira sudah tiada," jawab dokter tersebut.

"Enggak!" bantah Alara.

"Itu nggak mungkin!" Tubuh Alara langsung luruh ke lantai, Zaina tidak lagi bisa menyangganya. Wanita itu turut luruh, hatinya ikut hancur mendengar pernyataan dokter.

Anak kecil periang seperti Kia sudah tiada?

Pertanyaan itu terus berputar di kelapa Zaina.

Kia tiada karenanya?

Terakhir Kia bersamanya.

Dia tidak bisa menjaga Kia.

Dia gagal menolong putri kecil Elvano dan Alara.

Itu semua karenanya?

Zaina menutup mulutnya. Air matanya tidak lagi bisa dicegah. Dunianya seakan hancur.

Bayangin wajah Kia yang tadi sangat ceria terekam jelas di ingatannya. Zaina menggigit bibirnya kuat. Sesak sekali dadanya.

Zaina saja hampir lupa caranya bernapas, lalu bagaimana dengan ibu dari anak itu? Bagaimana dengan Alara?

Zaina langsung melihat wanita di depannya yang sedang memeluk Zafian—kembaran Kia.

"Putriku ...." Alara tidak menangis dengan histeris. Namun, tatapan mata wanita itu kosong saat memeluk Zafian.

"Kak Alara," panggil Zaina.

Panggilan itu diabaikan oleh Alara.

Zaina mendongak untuk melihat Elvano. Ayah dari Kia itu juga menangis dengan menjadikan dinding sebagai luapan perasaannya.

Lantas Zayden?

Laki-laki itu menatap kosong ke arah ruangan di mana Kia berada.

Zaina berdiri. Kemudian ia mendekat ke arah Zayden. Ia tidak menggangu suaminya, melainkan membuka pintu ruangan.

Terlihatlah tubuh kaku anak kecil bernama lengkap Azkia Anindira yang sedang dibenahi oleh para suster.

Bibir Zaina bergetar hebat.

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Where stories live. Discover now