11 || Pemilik Cincin

53.1K 6K 1.5K
                                    

Assalamualaikum makhluk bumi calon penghuni surga aamiiin.....

Euyyy para perkedel!!!

Selamat membaca, silahkan baca dulu baru komen atau komen dulu baru baca atau baca sambil komen. Terserah, asal jangan lupa tugas reads okay❤️

Typo tolong tandain

<<•◦ ❈ ◦•>>

"Karena kita sudah terbiasa dengan yang namanya menunda. Padahal kita tau kalo waktu tidak akan pernah menunggu kita. Seharusnya kita yang menunggu waktu."

"Benar, Ning. Apalagi si Rima, suka banget nunda-nunda. Setiap pagi sebelum sekolah selalu saya ingatkan untuk mencuci piring dahulu, eh malah nanti-nanti."

"Akibatnya?" Gadis yang paling dewasa di antara tiga gadis remaja di depannya tersenyum.

"Akibatnya piring kotornya jadi bau dan waktu mau nyucinya jadi males," celetuk Rima dengan jujur. Setelah itu ia menyengir saat Ning-nya geleng-geleng karena jawabannya.

"Nah, dari hal kecil menunda waktu aja bisa berakibat besar. Kata Napoleon hill gini; tidak akan pernah ada waktu yang tepat. Mulailah di mana anda berada, dan bekerja menggunakan alat apapun yang dimiliki. Peralatan yang lebih baik akan ditemukan ketika anda melangkah. Begitu katanya. Kesimpulannya, dengan menunda kita akan merasakan sangat berat kerugian. Jadi, tempel di depan lemari kalian dengan bacaan ....."

"Waktu tidak pernah berbaik hati untuk menunggu kamu, jadi jangan menunda waktu."

"Memangnya waktu ada hatinya, Ning?"

"Perumpamaannya, Dila."

Zaina, gadis itu sedang duduk di serambi masjid putri bersama 3 teman santriwati yakni Rima, Zhuda dan Dila. Sedangkan santriwati yang lain sudah kembali ke kamarnya masing-masing usai belajar ngaji dengan Akifah—-ibunya—Zaina.

"Coba sebutin lagi contoh menunda waktu yang berefek besar, seperti menjadi kebiasaan buruk?"

"Denger adzan, tapi seolah tuli," celetuk Dila.

"Bener!" seru Zhuda.

"Iya, kalian bener. Denger adzan bukannya langsung bangun, tapi malah tidur lagi. Pas temennya bangunin jawabnya, nanti dulu, lima menit lagi, nunggu adzannya selesai, bla bla bla," ujar Zaina terkekeh.

"Hooh! Keburu innalilahi," serobot Rima lantas tertawa.

"Astaghfirullah!" serempak Zaina, Zhuda dan Dila.

"Udah mau jam 12, kalian kembali ke kamar. Wudhu habis itu langsung tidur."

"Baik, Ning Cantik," balas ketiga remaja itu.

Setelah mereka kembali ke kamar masing-masing, Zaina juga ikut kembali ke ndalem yang berjarak satu bangunan berlantai 3 dari masjid.

Selama di perjalanan, Zaina terus melihat ke jari manisnya. Di sana terpasang dua cincin.

"Kok cincin aku jadi dua? Punya siapa dan siapa yang pakein?" monolognya.

Iris coklat tua miliknya terus meneliti cincin itu. Zaina suka, bahkan sangat suka.

Perlahan ia melepaskan cincin yang diberikan oleh Arfa saat ia masih kelas 1 MA dulu. Dan sekarang di jarinya hanya ada cincin asing yang ia sendiri tidak tau milik siapa dan sejak kapan ada di jemarinya.

"Mungkin Abang yang ngasih," ujar Zaina berasumsi.

Setelah sampai di ndalem, ibunya sedang membaca yasin di ruang keluarga.

"Assalamualaikum, Ibu," ucap Zaina sambil menyalimi Akifah.

"Waalaikumsalam," jawab Akifah singkat.

Seolah tau ibunya sedang fokus, Zaina langsung beranjak dan masuk ke kamarnya. Setelah melepas mukena dan menggantinya dengan jilbab, Zaina kembali ke luar. Tujuannya adalah kamar Gus Arfa.

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang