19ㅣCantiknya Saya

151 24 8
                                    

“Sakit?” tanya saya

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

“Sakit?” tanya saya.

Tapi dia hanya terdiam tak kunjung bicara. Matanya menatap saya lekat seperti ada kesenduan di dalamnya.

“Kamu gak lagi bercanda kan?” tanya saya sekali lagi yang kali ini dijawabnya dengan gelengan kepala.

“Kamu serius?” Kali ini dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan saya.

“Nggak. Pasti kamu bohongin saya kan?” Saya mencoba berpikir jika semuanya yang dia katakan hanyalah kebohongan saja.

“Serius, A. Aku sakit,” katanya yang sekali lagi membuat saya tercekat sehingga bibir ini gak mampu berkata.

“Mau lihat obatnya? Atau lihat surat-surat dari dokter?” tanyanya yang kali ini entah kenapa tak bisa saya jawab.

“Bentar,” katanya sebelum beranjak masuk ke dalam rumah meninggalkan saya.

“Lihat.” Saya gak dapat mencerna segala hal yang sudah saya dengar. Sampai-sampai saya baru sadar jika Runi sudah kembali dengan berbagai obat-obatan dan lembaran kertas yang katanya dari dokter. Dia berdiri di depan saya.

Jujur saja saya gak mampu melihat itu semua. Sehingga saya hanya mampu diam gak berkutik. Bahkan saya tak dapat menatap wajahnya.

“A Danu,” panggilnya.

Kemudian saya menoleh untuk menatap wajahnya, “Kamu sakit apa?”

“Makanya lihat sendiri,” katanya sambil menyodorkan apa yang dia ambil dari dalam tadi.

Saya menggeleng dengan pasti, “Gak mau lihat. Jujur aja sama saya, kamu sakit apa?”

Kemudian dia kembali duduk di samping saya. Dia letakkan barangnya di atas pangkuannya. Matanya menatap saya kembali.

“Leukemia.”

Seketika saya tercekat begitu mendengar pengakuannya. Bahkan saya seperti merasakan sebuah hantaman keras dari balik punggung saya.

“Kamu serius?” Saya benar-benar terkejut dan gak bisa percaya kalau ternyata selama ini Runi sedang sakit. Sehingga bibir ini seperti kehilangan kemampuan untuk bicara.

“Serius, A. Besok aku mau check up. Do'ain semuanya lancar ya. Dan aku bisa sembuh.”

Selama ini Runi kelihatan baik-baik saja, bahkan dia selalu kelihatan ceria. Maka dari itu saya sulit untuk mempercayai apa yang dibilangnya.

Tangannya mengusap pipi saya seraya berkata, “Aku gak papa kok.”

Entah kenapa kata-kata itu membuat saya hancur begitu saja. Rasanya ingin menyalahkan takdir tapi tidak bisa. Saya hanya manusia, dan takdir berkuasa di atas segalanya.

Saya dekap tubuhnya erat. Tangan saya terulur mengusap pelan rambutnya. Tanpa saya sadari, ternyata mata saya sudah memburam. Dunia saya serasa hancur dalam hitungan detik.

Dia Arunika, 1996 ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ