"Thanks!" ujar Hendery pada Candra yang tidak turun dari mobil dan dibalas dengan anggukan kepala.

"Oh iya!" Candra yang hendak menaikkan kaca mobil terpaksa berhenti ketika Hendery tiba-tiba berteriak. "Jangan sampai lo kehilangan dia karena lo terlambat menyadari!" Pemuda itu menyengir.

Tampaknya masih menganggap jika Candra sedang jatuh cinta. Omong kosong. Itu hanya pemikiran Hendery yang tanpa dasar. Peduli bukan berarti suka. Tak mau berpikir lama, Candra langsung menancap gas, lalu pergi.

Saat di lampu merah, ia tak sengaja menoleh ke seberang kanan. Matanya tiba-tiba menyipit memastikan sesuatu dengan kening mengerut. Ia melihat perempuan mirip dengan Cinta sedang membuang sampah, lalu masuk ke dalam sebuah kafe. Gadis itu memakai seragam putih dengan topi dan celemek hitam.

Berikutnya suara klakson dari belakang membuyarkan pengamatan Candra. Lampu sudah berubah hijau dan ia segera memasang lampu sen ke kanan. Memutarkan kemudi cepat menuju ke tempat yang ada di pikirannya sekarang.

Pemuda itu masuk ke wilayah parkiran kafe, ia turun dari mobil, lalu beranjak ke dalam kafe itu. Matanya memendar mencari keberadaan Cinta. Hingga akhirnya ia menemukan gadis itu yang sedang berada di belakang mesin kasir.

"Selamat datang di Aneka Cita, Kakak ingin memesan apa—" Cinta yang sedari tadi merapikan uang mendongak, lalu berhenti berkata. "Candra? Kamu Ngapain di sini?" tanyanya dengan suara tinggi.

Sementara orang yang dimaksud masih sibuk memperhatikan sekitar. "Jadi lo kerja di sini," ujar Candra seraya terus memindai, nada kata itu datar karena tak meminta validasi.

"Kamu kalau enggak mau beli, mending minggir. Kamu menghalangi antrean." Cinta bersuara tegas, seolah Candra sedang menghambat pekerjaannya.

Reflek Candra menoleh ke belakang memastikan antrean. Ada dua orang yang menunggu di sana. Gadis itu melebih-lebihkan, atau memang apa yang ia lakukan saat ini terlihat menyebalkan di mata gadis itu.

"Gue beli, kok," putusnya, lalu melihat menu. "Gue beli ice capuccino sama croffle cheese cream," kata Candra seraya melihat Cinta yang kini fokus menatap layar di depannya.

Tangan gadis itu dengan gesit menekan menu yang dimaksud. "Totalnya 25rb. Di makan sini atau take away?"

"Makan sini," jawab Candra sambil memberikan uang.

Ketika Cinta hendak mengambil uang, pergerakannya berhenti sesaat. Candra memandanginya tanpa ekspresi. Bibir pemuda itu datar, tetapi bola matanya sedikit merekah dan itu menimbulkan sebuah perasaan aneh bagi Cinta.

Ia segera menunduk setelah mengambil uang itu. Sementara Candra kembali mengeluarkan senyuman tipis melihat gadis itu ketika sedikit salah tingkah.

"Uangnya 50 ribu, kembalinya 25 ribu terus ini struknya. Silakan ditunggu," kata Cinta masih sopan, tanpa berani menatap mata Candra.

"Ok, thanks."

Candra duduk di meja yang tak jauh dari tempat Cinta. Ia memerhatikan gadis itu dari tempatnya. Hingga makanan datang diantar oleh seorang pemuda.

Gadis itu terlihat gesit merapikan meja ketika tidak ada yang mengantre untuk memesan. Dan Candra menikmati semua itu, entah mengapa tak ada tanda kelelahan dari wajah Cinta. Ajaib, atau mungkin karena sudah menjadi rutinitas sehingga gadis itu terbiasa.

Ketika Candra sedang sibuk dengan ponsel tiba-tiba suara Cinta memanggil namanya. Pemuda itu mendongak, menatap Cinta yang merapikan rambut agar masuk ke topi.

"Can, kamu di sini udah dari tadi. Kamu gak mau pulang? Kafe sebentar lagi tutup."

Sontak matanya memindai sekitar. Tempat itu sudah sepi, bahkan beberapa bagian kafe lampunya sudah mati. Ia buru-buru mengecek jam di tangannya, pukul sebelas malam. Ia tak sadar jika sudah di sana selama itu.

Shooting Star | Chenle [TAMAT]Where stories live. Discover now