2. Khawatir

157 34 129
                                    

Candra merenung di dalam mobilnya, menatap langit yang sudah menggelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Candra merenung di dalam mobilnya, menatap langit yang sudah menggelap. Bayang-bayang keadaan Cinta tadi sangat mengusik. Gadis itu terlalu keras pada hidupnya.

Ia mengenal Cinta baru dua minggu, sejak semester pertama baru dimulai, tetapi Candra tak tahu jika gadis itu akan seambisi ini. Memang dalam keseharian saat mata kuliah berlangsung, Cinta sangat aktif. Bahkan, tak pernah melewatkan untuk bertanya.

Di mata Candra, gadis itu tangguh. Hanya sebatas itu.

Namun, setelah kejadian tadi, pandangannya berubah. Bukan hanya tangguh, gadis itu sangat kuat. Lebih kuat dari apa yang Candra kira. Bagaimana bisa Cinta bertahan tanpa tidur dengan keadaan seperti itu untuk menyelesaikan sebuah bisnis plan?

Benar-benar tidak habis pikir.

Tanpa disadari oleh Candra, Hendery memperhatikannya. Pemuda blasteran itu merengut bingung, ia sampai melambai-lambaikan tangan di wajah Candra. Namun, masih tak digubris. Sampai pada akhirnya Hendery mendekatkan diri ke pemuda itu.

"Can! Sadar!!"

Candra tersentak dan tak sengaja menampar pipi Hendery karena terkejut.

"Sakit!!" Hendery memegangi pipi dengan wajah kesakitan.

"Lo kenapa teriak di telinga gue??" protes Candra.

"Lo ngapain ngelamun? Mikir apa, sih?" protes Hendery balik. "Nyawa lo masih nyangkut di wall?” tebaknya.

Candra berpaling, kemudian meraup wajahnya gusar. Ia tampak bingung dengan dirinya sendiri. Untuk apa tadi ia repot-repot memikirkan Cinta? Aneh.

"Jangan ngelamun lagi woy!" Interupsi Hendery.

Candra tidak menoleh, ia menatap lurus ke depan, masih belum menyalakan mobil. Kemudian ia melirik sekilas pada Hendery, ada rasa ragu yang Candra rasakan, tetapi berikutnya ia pun mulai bertanya, "Hen ... menurut lo wajar gak, sih, yang awalnya lo gak peduli jadi peduli?"

Hendery memasukkan ponselnya ke tas, menoleh pada pemuda itu memberikan atensi. "Wajarlah, kan, lo masih manusia. Manusia itu hakekatnya peduli sesama. Kecuali...."

Candra menoleh, lalu menaikkan alis. "Kecuali?"

Hendery tersenyum. "Kecuali orang yang lo peduliin itu perempuan. Itu artinya lo suka."

Mendengar itu Candra diam, menatap Hendery lama. "Terlalu cepet buat gue suka sama dia," ungkapnya.

Hendery melebarkan mata. "Jadi beneran perempuan?" tanyanya nyaring. Berikutnya sebuah cengiran penuh selidik tercipta dari wajah putih pemuda itu. Seolah-olah dia menangkap basah Candra.

Malas menjawab, Candra memilih untuk menjalankan mobil dan mengantarkan pemuda itu pulang.

Tak berapa lama, mereka sampai di depan rumah yang didesain serba menggunakan kayu, bergaya klasik modern.

Shooting Star | Chenle [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang