EXTRA PART I

50.1K 4.3K 134
                                    

Happy Reading

~•~

"Ray, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?"

Sungguh Reane tidak berani bertanya pertanyaan yang sampai sekarang masih belum jelas jawabannya. Sembari memandang sebuah restoran di seberang jalan, Reane menunggu gugup jawaban Ray di seberang telepon.

"Bertanya apa, Sayang? Mengapa tidak secara langsung saja saat nanti aku pulang kerja? Aku akan segera selesai! Pasti kalian berdua merindukanku, bukan?" Suara rendah Ray yang datang beruntun terdengar begitu lembut telepon.

Suasana hati Reane yang rendah langsung terangkat setelah mendengar suaranya. Ray tidak tahu saja bahwa dia sedang di luar rumah meninggalkan putrinya dengan pelayan di rumah. Dia tahu bahwa apa yang ingin dia lakukan sekarang berakhir sama dengan sebelumnya, tapi dia tidak ingin menyerah.

Sembari menahan air mata yang tanpa sadar memupuk di matanya, Reane menurunkan topi di kepalanya sehingga hanya menampilkan sebagian wajah. Ia berpenampilan seberbeda mungkin agar orang yang ingin ditemui tidak langsung kabur mengindarinya.

Sembari berjalan ke sebuah restoran kecil tempat berada seseorang itu, Reane menanggapi Ray di telepon. "Aku ingin bertanya sekarang, Ray."

Sepertinya Ray menyadari nada suara Reane sedang tidak baik-baik saja. Suaranya menjadi lebih lembut dengan sedikit ketegangan. "Baiklah. Tanyakan saja pertanyaan apapun, Sayang."

Reane sudah masuk dan duduk di restoran itu dengan wajah semakin di sembunyikan di balik topi, namun sudut matanya masih mengawasi orang itu dengan cermat.

Reane menarik nafas dalam-dalam. Jantungnya berdegup kencang. "Ray, aku tahu masalah ini sudah berlalu, tapi bolehkah aku tahu alasan lebih spesifik kamu menghancurkan keluarga Mario."

Reane menebak, alasannya mungkin dirinya sendiri, tapi sampai sekarang bahkan ia tidak tahu jawabannya entah karena dirinya selalu lupa bertanya atau Ray yang menghindari pertanyaan. 

Benar saja, ujung telepon langsung hening. Ray tidak langsung menjawab. Reane mencengkeram telepon dengan erat, telapak tangannya basah berkeringat. Karena di dalam restoran tidak banyak orang, sehingga Reane merasa dunia hening, hanya degup jantungnya yang terdengar.

Di tengah suasana tegang itu, seorang gadis pelayan datang menanyakan apa yang ingin dia pesan, ketegangan Reane agak mengendur dan menjauhkan ponselnya saat ia mengatakan pesanannya. 

"Permisi, bolehkah pesananku nanti diantarkan ke meja ini olehnya?" tanya Reane ke gadis pelayan itu sembari menunjuk seseorang yang sibuk bekerja di ujung sana.

"Baiklah."

"Terima kasih."

Setelah dia pergi, Reane mendekatkan kembali teleponnya ke telinga.

"Reane? Apakah kamu mendengarkanku? Siapa yang berbicara denganmu?"

Reane terkejut. Apakah Ray sudah menjawab pertanyaannya? 

"A-h, maaf. Aku sedang mengobrol dengan pelayan di rumah. Bolehkah kamu ulangi perkataanmu?"

"Ku bilang aku tidak pernah menghancurkan keluarganya. Aku tidak tahu mengapa sedari awal kamu mengira aku yang melakukan itu, tapi aku bahkan tidak ingat bahwa aku pernah bertemu dengannya."

"... apa?" Reane tertegun. Seolah seluruh tubuhnya membeku, matanya melebar terkejut, dan kepalanya seperti di siram air dingin.

Lalu, apakah selama ini dia salah paham dengan Ray? Reane merasa nafasnya menjadi sesak dan terhimpit.

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang