32. Dependency 🌷

74.8K 9.3K 869
                                    

Happy Reading

17+

~•~

Bohong jika saat ini Reane tidak memikirkan perkataan Mario saat istirahat tadi. Pikirannya yang tengah kalut karena Ray, malah semakin berkabut karena Mario.

Sejak malam di mana ia memberitahukan dirinya yang sebenarnya kepada Ray, pria itu yang selalu menempel padanya menjadi jarang terlihat di rumah. Ray yang biasanya makan bersama tak terlewatkan, akhir-akhir ini malah Grehen sendiri atau pelayan yang lain mengantarkan makanan ke kamar pria itu.

Entah ilusi Reane atau bukan, Grehen sendiri bersikap sedikit dingin padanya. Kepala pelayan itu tidak banyak bicara semenjak perdebatan tentang lukisan Ray yang disingkirkan. Semakin banyak waktu berlalu tanpa Ray, semakin Reane gelisah. Ia bisa saja datang ke kamar Ray sendirian, namun mengingat perkataan Ray terakhir kali, ia menjadi sedikit takut dan canggung. Entah terlalu banyak berpikir, Reane merasa seolah telah kehilangan Ray-nya yang manja.

Sudah banyak waktu berlalu, Reane tidak tahan lagi. Mungkin terlalu banyak pikiran, pagi tadi dia malah memimpikan Ray kecil. Mimpi itu sama sekali tidak memberikan alasan mengapa Grehen amat tidak menyukai Ray yang melukis. Padahal dengan jelas Reane melihat Ray kecilnya melukis dirinya sendiri begitu bagus. Lalu, lukisan apa yang biasanya Ray gambar sampai-sampai Grehen membuang alat lukisnya tanpa ampun? Dari tindakannya, jelas Grehen tidak mengijinkan Ray untuk melukis apapun lagi.

Bukan hanya tentang lukisan, namun sejak lama Reane sudah mempertanyakan keluarga Ray yang sebenarnya. Seolah menjadi misteri baginya, sepertinya Reane harus mencari satu persatu potongan puzzle untuk di satukan tentang Ray. Mulai dari penculikan, orang tuanya, masa lalunya, atau bahkan tentang penyebab penyakitnya. Novel yang menjadi dunia yang ditempatinya sekarang sama sekali tidak memberikan informasi apapun tentang peran pendukung.

"Reane, bukankah itu mobil yang menjemputmu?"

Reane yang tenggelam dalam lamunan, langsung tersadar. Dia melihat arah yang Sara tunjukkan dan mengangguk sembari tersenyum. "Kamu benar."

"Kalau begitu, pergilah. Kebetulan mobil jemputanku pun sudah tiba."

"Baiklah. Hati-hati."

"Kamu juga, Rea!"

Reane memerhatikan Sara yang berlari pergi dengan riang sembari melambai ke arahnya. Ia balas melambai dan mulai berjalan menuju mobil yang terparkir di dekat gerbang masuk sekolah.

Saat akan membuka pintu mobil, tak sengaja ia melihat sosok Mario yang berdiri bersandar menatapnya. Pria itu tersenyum rendah dan melambai dengan santai seolah mengucapkan 'sampai jumpa' atau mungkin 'hati-hati'.

Sebelum ia bereaksi, pintu mobil terbuka tiba-tiba dari dalam sehingga atensi Reane teralihkan. Menyadari ada seseorang di bagian mobil, Reane terkejut mendapati Ray yang duduk santai di sebelah kanan belakang mobil.

Ia bukan hanya terkejut karena ini pertama kalinya Ray ikut menjemputnya, namun ia juga terkejut karena tidak melihat Ray belakangan ini dan tiba-tiba muncul ikut menjemputnya.

"Nyonya, silahkan masuk." Supir berkata pelan melihat Reane masih linglung berdiri.

"Ah, ya." Reane langsung tersadar dan masuk sembari menatap Ray yang juga menatapnya. Entah kenapa suasanannya menjadi canggung.

Reane masih meragukan siapa Ray yang di depannya. Ucapan malam itu masih terngiang-ngiang di telinganya.

Ingatan tentang lukisan Ray yang melukis dirinya langsung terlintas dibenaknya. Reanr langsung tersenyum dan menghilangkan rasa canggungnya. "Aku senang kamu ikut menjemputku."

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang