TIGAPULUH SEMBILAN

9.3K 532 79
                                    

🐳🐳🐳






"Tidak apa semuanya baik-baik saja. Gak papa Eca, jangan di pikirin." Elusnya di kepala Eca.

Dengan tersedu-sedu Eca mulai berbicara melalui suaranya yang serak. "Mereka berisik Kevan, ke--pala gue berisik tolong dong Kevan, dia suruh diam gue capek," raungnya sambil menjambak rambut frustasi.

"Eca ga boleh nyakitin diri sendiri." cengah Kevan menahan tangan Eca yang ingin menjambak rambutnya lagi.

Suara tangis itu semakin pilu di dekapannya. Kevan merasa Eca seperti kesusahan untuk bernafas.

Dia langsung melonggarkan pelukan dan menatap Eca di dekapannya. "Eca tarik nafas, buang, bernafaslah secara perlahan ...." Dan Eca mengikuti arahan Kevan. "Iya gitu sampai lo lega."

Eca akhirnya tidak sepanik tadi, tetapi tetap meracau. Kevan terus memperhatikan wajah Eca secara saksama.

"Gamau, Kevan gamau!" raung Eca tangannya bergetar sambil menghindari kontak mata.

"Gamau Kevan dia jahat! Kevan dia jahat!"

"Kenapa mesti gue? Kenapa gak orang lain aja?"

Wajahnya sembab menampakan kesakitan yang teramat dalam berada di sana.

Kevan dengan senantiasa mendengar semua racauan Eca sambil mengelus punggung Eca dengan sayang.

Jujur hatinya sakit melihat Eca seperti ini apalagi dia tidak tahu sebabnya apa.

"Ca, liat gue," panggilnya setelah tidak mendengar suara tangisan Eca lagi digendang telinganya, lalu dia menangkup wajah Eca untuk menatap dirinya.

"Kevan." Dia mendongak bibirnya melengkung ke bawah setetes demi setetes air mata tumpah ruah kembali.

"Iya apa?" tanyanya lembut sambil mengelus wajah Eca dari sisa air mata, tangannya begitu lihai membenarkan anak rambut yang berantakan.

"Dia jahat!" menggoyangkan badan dengan gelisah.

"Hm, siapa?" tatapnya kemata Eca dalam, menahan posisi tubuh Eca di depannya.

"Dia," racaunya seperti tercekik, cairan bening lolos lagi dari netranya.

"Eca gakpapa kalau lo belum siap untuk cerita, tapi jangan gigit bibir lo lagi, kalau mau lo boleh gigit gue." Usapnya kesisa darah di dagu Eca.

"AW—sakit banget Ca!" pekiknya memegang tangannya yang tadi tiba-tiba digigit Eca.

"Tadi katanya boleh gigit," rengeknya melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Bilang-bilang masalahnya sakit banget ini, lo kenapa kayak tikus di rumah gue kalo gigit sakit banget,"

"Di rumah orang kaya ada tikus?"

"Emm ... ada dong," jawab Kevan menggaruk belakang kepalanya.

"Kenapa kutuan?" tanyanya.

"Sembarang lo!" sembur Kevan tak terima.

Eca yang sudah merasa baikan pun tersadar akan hal yang dia lakukan, dia langsung menghempaskan tubuh Kevan dari dekapannya. "Pergi sana lo! Gue males liat muka lo Kevan!"

Kevan kejengkang ke belakang, "Ca! Kebiasan banget deh, dorong-dorong gue mulu!" Kesal Kevan

"Terserah! Pergi sana lo, gak butuh—lo gue." Sambil mengusap pelipisnya karena panas diposisi seperti itu dengan Kevan.

"Ah, masa tadi di peluk mau," goda Kevan menaik turunkan alisnya.

"KHILAF!" Eca langsung bangkit begitu saja.

ANTAGONIS URAKAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang