Kesakitan yang Jett derita hanya menambah dinginnya pandangan Sera. Amarah yang selama ini ia tahan tiba-tiba meledak tanpa kendali.

Dengan gerakan yang cepat. Sera mengarahkan ujung pedangnya ke leher Jett. Kilau dingin dari mata pedang menandakan betapa dekatnya kematian.

Nafas Jett tersangkut di tenggorokannya. Saat ia tak mampu menghindari pandangan mematikan yang mengancamnya.

Namun, seketika Sera menghentikan pedangnya yang sedikit lagi mengenai kulit leher Jett. Matanya yang menatap tajam dan dingin tak lepas dari Jett yang terlihat sangat ketakutan.

Jett mulai merasa tubuhnya bergemetar. Napasnya tidak teratur, dan otot-ototnya tegang. Dia hampir saja menjadi korban dari serangan Sera.

Matanya kemudian beralih kepada Rowan yang berdiri tak jauh di belakang Sera. Seolah meminta pertolongan.

"Bagaimana jika mulai dari saat ini anda kembali belajar berpedang." Jett seketika membelakkan matanya terkejut.

Sera tersenyum miring kemudian menarik pedangnya kembali. Menjauhkan pedangnya dari leher Jett. Tatapan tajam Sera masih mengunci mata Jett. Seolah-olah menusuk jiwa dan memenuhinya dengan ketakutan.

"Anda pikir aku tak mendengar semua perkataanmu dan yang lain?"

Para kesatria lain yang berada di sisi lapang seketika bola matanya membulat sempurna. Mereka semua terkejut dengan perkataan Sera yang tak terduga. Mereka tak menyangka jika Sera mendengar semua percakapan mereka.

"Sebaiknya sebelum kau meragukan kemampuan majikanmu, Lebih baik kau mengulang kembali sekolah berpedangmu. Teknik berpedangmu sangat buruk, Sir Jett."

Jett terdiam. Ia terpaku pada tempatnya. Tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

Sera berjalan maju beberapa langkah. Jett yang melihat Sera mendekat mulai terlihat ketakutan. Wajahnya pucat pasi saat melihat pedang yang di genggam Sera. Tubuhnya kembali bergetar dengan hebat.

"Kau,"

Sera menggenggam erat pedang yang masih berada ditangannya. Jett menatap pedang Sera dengan cemas. Tiba-tiba kembali terkejut saat dilemparnya pedang tersebut hingga menancap disisi kanan Jett.

"Diberhentikan sementara hingga batas waktu tak tentu, Sir Jett." Sambungnya.

Suasana di arena terasa berhenti sejenak. Hanya diisi dengan napas tegang para kesatria yang melihat kejadian itu. Tanpa sadar mereka menelan ludah mereka dengan susah payah. Sera memutar tubuhnya dengan gerakan anggun.

Kaki jenjangnya melangkah menuju Rowan yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Jett, yang masih duduk tampak terkaku. Saat mendengar perkataan Sera.

Ketika Sera sampai di depan Rowan. Ia mengulurkan tangan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Mengusap lembut rambut emas adiknya.

"Kakak."

"Aku tak akan memaafkan mereka yang berani mengusik adikku satu-satunya. Kalian mengerti?"

Sera menatap tajam sekumpulan kesatria yang berdiri di sisi lapang tak jauh dari jaraknya.

Seketika mereka semua tersentak saat Sera menatap tajam ke arah mereka. Mereka refleks langsung menundukkan kepalanya. "Baik, Nona Sera."

Sera kemudian mengalihkan kembali tatapannya pada Rowan yang tak berkedip sedikitpun padanya. "Ayo, kita minum teh. Tadi kau bilang ingin minum teh bersamaku."

"Y-ya."

Sera dan Rowan meninggalkan arena latihan. Rowan sedikit membuka pembicaraan, dan Sera menjawab dengan lembut. Suaranya penuh dengan kehangatan dan kesabaran. Para kesatria yang menyaksikan momen itu. Dibuat tercengang oleh perubahan suasana hati Sera.

*****

Dalam ruangan yang gelap, cahaya hampir sepenuhnya terhapus oleh bayangan tebal yang menyelimuti segala sudut. Hanya sedikit kilauan redup yang berasal dari bara-bara kecil yang menyala di dinding-dinding batu kuno.

Di tengah-tengah kegelapan, sekelompok orang berdiri dengan jubah hitam yang mengalun ke bawah hingga menyentuh lantai dingin. Mereka menundukkan kepalanya sebagai tanda penghormatan kepada sang penguasa gelap.

Draven, sang penguasa kegelapan, terduduk dalam kursi kebesarannya. Tubuhnya terbungkus dalam jubah hitam yang mengalir seperti gelombang malam yang tak berujung.

Wajahnya yang tajam dan tanpa ekspresi menyembunyikan misteri yang dalam, dan matanya menyala dengan bara api biru yang hampir tak terlihat di dalam kegelapan.

"Bagaimana kabar anak itu?"

Dengan gerakan santai, Draven mengangkat Burgundy glass yang gemerlap di tangannya. Gelas itu berisi cairan hitam pekat yang seolah-olah menyerap cahaya di sekitarnya.

Setiap getaran yang dihasilkan oleh goyangan ringan sang penguasa menciptakan refleksi cahaya yang aneh di permukaan gelas.

Zephyr menundukkan kepala. "Saat ini dia sedang berada di Emberlyn, Tuan."

Draven menganggukkan kepalanya. "Ah, mereka selalu berdekatan rupanya. Dia sudah menggunakannya?"

"Belum, Tuan. Selama saya mengawasinya, ia hanya menggunakannya untuk berlatih saja."

Draven tersenyum miring, bibirnya melengkung dengan elegansi gelap seiring kata-kata Zephyr mencapai telinganya. "Ah, sangat disayangkan. Kalau begitu kau harus mengujinya, Zephyr."

Dalam keheningan yang hanya terganggu oleh suara deru napas. Draven mendekatkan Burgundy glass yang berisi cairan hitam pekat itu pada bibirnya.

Saat cairan itu menyentuh bibirnya. Cahaya rembulan memantul di permukaannya. Menciptakan refleksi aneh di matanya yang tajam.

"Kau harus membuatnya mengeluarkan kekuatan itu, bagaimana caranya."

Zephyr menunduk mengerti. "Baik, Tuan."

Zephyr melangkah pergi dengan gerakan yang gemulai, meninggalkan ruangan besar itu dalam keheningan yang menegangkan. Para pengikut lain mengikuti dengan langkah-langkah yang penuh kepatuhan.

Tinggalah Draven, berdiri di pusat ruangan yang mengisi udara dengan aura kekuasaan. Tubuhnya terbungkus dalam jubah hitam yang mengalun dengan Anggun.

"Ah, aku tak sabar untuk melihatnya."

*****

Namratsr | Na

The Conqueror of Blades and HeartsWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu