16. Siapa yang Bunuh Siapa?

14 5 4
                                    

Langkah kaki Ilham terhenti kala dia melihat sepasang kaki menghadang jalannya. Menaikan pandangan, sesosok gadis yang belakangan ini mengganggunya mampu dia lihat.

Ilham menunjukan ekspresi tanpa semangat, wajahnya pun pucat meski tatapannya tajam sekali. Dia menatap gadis di depannya tanpa bicara, hanya diam menunggu saja hingga gadis itu membuka suara duluan.

"Lo nggak malu?" tanya gadis berambut tergerai di depan Ilham. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket varsity navy berlengan putih sedikit longgar. Celana pendek di atas lutut yang dia pakai membuat kaki jenjang mulusnya terekspos dengan sempurna. "Punya mulut, tuh, dipake," ucapnya karena Ilham tak kunjung membalas. Bibir pria itu seolah sulit untuk terbuka, sulit untuk bergerak karena senyum pun sepertinya tidak pernah.

"Ngomong anjing!" Amira membentak, terlampau kesal dengan sorot tajam Ilham yang seolah-olah menantangnya. "Balikin," ucap Amira.

Gadis itu menyugar rambutnya ke belakang, marah sekali pada manusia di depannya ini. "Denger, ya──"

Alih-alih menjawab, Ilham malah kembali berjalan, menabrak bahu Amira begitu saja seolah dia tak bersalah. Di sisi tubuh, kepalan Amira terbentuk. Membalikan badan, gadis yang wajahnya sudah memerah itu berteriak, "BAJINGAN! NGGAK MALU LO MASIH IDUP SETELAH BUNUH ORANG, HAH?!" Dia akan menyusul Ilham, tetapi sebuah suara yang tiba-tiba didengarnya membuat dia tak jadi melakukan itu.

"Bunuh orang?"

Menoleh ke samping, Amira bisa menemukan Natsuki yang menghentikan sepeda tepat di sisinya. Pria itu menatapnya dengan ekspresi tanya yang kental. "Ck, bukan urusan lo," balas Amira hendak pergi. Hanya saja, Natsuki mencekal pergelangannya seolah mereka teman akrab. Tentu saja Amira marah, dia menarik tangannya sendiri meski Natsuki sangat bertekad tak mau melepaskan.

"Siapa bunuh siapa?" tanya Natsuki lagi.

"Bukan urusan lo! Lo nggak sopan, lepasin gue!" bentak Amira, tapi Natsuki tak mendengarkan. Pria itu tetap menatap Amira penasaran sekaligus penuh selidik.

"Es campur, mie ayam, es campur, mie ayam." Dengan suara lempeng yang khas, Wara dan sepeda hitamnya melewati Natsuki dengan kecepatan tinggi. Tak hanya dia, Daffa menyusul di belakang dengan kecepatan yang juga tinggi. Terakhir, Rick yang membonceng Ziva mengayuh sepeda susah payah.

"Es campur, mie ayam..., es campur sama mie ayam," ucap Rick begitu melewati Natsuki dan Amira.

Menatap punggung teman-temannya, Natsuki melonggarkan cekalannya pada Amira. "Mana bisa makan setelah liat mayat anjoy," gumamnya.

Sebenarnya mereka sedang berlomba. Yang kalah akan mentraktir yang lainnya es campur dan mie ayam saat makan siang nanti. Natsuki asalnya ada di posisi pertama, tapi dia malah tertarik dengan Amira yang meneriaki seseorang dengan kalimat mencurigakan.

"Mayat?" Amira sudah tak seemosi tadi. Berkat Wara dan yang lainnya lewat, emosi buruknya bisa meluruh meski sedikit.

"Di perempatan kincir, Naufal adik kelas kita jadi korban kedua Demian kw," balas Natsuki melepaskan cekalannya.

"Demian... Smile?" tanya Amira terdengar ragu. Entahlah, mungkin dia malu ketahuan tahu soal novelnya Sastra Olivia.

Natsuki sendiri mengangguk sebagai respon. "Jadi, siapa yang bunuh siapa? Tadi lo ngomong sama siapa?" tanyanya membawa Amira pada pembahasan semula. Saking penasarannya dia jadi tak peduli kalau harus membayar makan siang teman-temannya. Lagipula mie ayam dan es campur untuk berempat tidak akan melebihi seratus ribu. Sebagai cucu orang terkaya di kelurahan, Fumiya Natsuki jelas mampu.

Memasukan tangan ke dalam saku seperti kebiasaannya, Amira menjawab, "Bukan urusan lo, Natsu. Lo nggak akan paham."

Memasang ekspresi curiga, Natsuki berkata, "Ada hubungannya sama cewek gue?"

"Cewek lo?" Amira dan Natsuki hanya sekedar kenal, tapi Natsuki murid populer di Lentera Launa dan sejauh ini tidak ada kabar kalau Natsuki memiliki kekasih.

"Oliv."

Meski singkat, tapi raut Amira sempat berubah tak enak. Memalingkan muka, gadis itu berucap, "Nggak. Nggak ada hubungannya." Tegas sekali nadanya itu.

"Ra." Natsuki menunjuk boncengan sepedanya dengan jempol. "Jalan-jalan, kuy," ajaknya.

•••

"Ilham. Ilham yang bunuh gue."

Aram tak bereaksi apa-apa kala Oliv yang tiba-tiba muncul dari balik gerbang mengatakan itu.

Oliv sempat termenung tadi, duduk di sisi ranjang single Ilham dengan segala macam pikiran yang memenuhi kepalanya. Gadis itu sempat kosong memang, bingung dengan apa yang harus dia lakukan setelah menemukan jari tangan dan kaus penuh darah di dalam lemari.

Dia mati. Ilham yang membunuhnya. Haruskah Oliv biasa saja setelah tahu fakta itu?

Dia memang datang ke sini karena mencurigai Ilham, tapi tetap saja dia terkejut saat kecurigaannya ternyata benar. Perut Oliv bergejolak saat itu, gambaran tentang Ilham yang memukul kepalanya dengan batu terputar. Bukan lagi topeng hantu yang dilihatnya, melainkan wajah tak bersemangat khas Ilham dan tatapan tajam penuh permusuhan lelaki itu yang memenuhi pandangannya. Cekikan Ilham di lehernya membuat Oliv memegang lehernya sendiri tadi, nyaris mencekik diri sendiri sampai tubuhnya benar-benar lemas tanpa tenaga.

Peluh membanjiri wajah dan leher Oliv tadi, napasnya terenggah begitu berhasil menyadarkan diri. Beruntung, dia bisa cepat-cepat mengatur semua itu hingga tampilannya biasa saja saat menghadapi Aram kini.

"Gue nemu jari di lemarinya dia. Jari gue ilang, kan? Dia yang punya," papar Oliv berusaha membuat suaranya sebiasa mungkin.

"Tapi Ilham dibebasin karena punya alibi meski dia punya kertas teror," ucap Aram mengingat apa yang Natsuki katakan. Dari empat tersangka, semuanya dibebaskan karena alibi dan kurangnya bukti.

"Itu juga mengganggu. Maksud gue, polisi tahunya Ilham neror gue, kan? Kenapa dia dibebasin? Meski dia nggak bunuh gue, ada pasal tentang tindak pengancaman, kan?"

"Dia nggak ngancam." Tanggapan Aram membuat Oliv mengingat kembali apa saja isi kertas-kertas yang katanya ada di kamarnya yang dia dengar dari Natsuki. "Ilham nggak bilang bakal nyakitin lo. Atau mungkin, meski itu masuk tindak pidana, tapi karena satu dua hal, Ilham dibebasin gitu aja," lanjut Aram.

Mengangguk samar, jari Oliv jadi naik guna memegang bibir bawahnya. Sorotnya terlihat serius saat dia berkata, "Sejak awal gue penasaran kenapa ada kertas teror di kamar gue. Gue penasaran apa yang buat Bang Alvian sama Ilham berantem. Gue juga penasaran kenapa Amira selalu ada di sekitar rumah gue. Gue penasaran apa alibi Ilham. Ilham bunuh gue. Gue liat buktinya. Tapi yang liat cuma gue. Tugas gue sekarang adalah kasih tahu semua orang kalau pelakunya Ilham. Caranya, puasin semua rasa penasaran gue. Sebagai penulis, gue rasa Ilham, Alvian, sama Amira punya hubungan."

"Alasannya?" Seperti yang dikatakan Oliv, dia penulis, dan penulis tidak akan menulis hanya dengan insting semata. Gadis itu pasti punya alasan.

Tangan Oliv turun dari bibir. Dia yang semula menatap ke bawah beralih menjadi menatap lurus Aram. "Beberapa jawaban dari rasa penasaran gue. Amira sering ada di sekitar rumah gue bahkan setelah gue mati. Polisi ngira dia di sana karena gue, tapi kalau gue udah mati, ngapain dia di sana? Jawabannya dua, Bang Alvian sama Ibu. Tapi Ibu terlalu sibuk buat punya hubungan apapun itu sama remaja. Jadi, jawabannya Bang Alvian. Sejak awal kehadiran Amira di sekitar rumah gue bukan karena gue, tapi karena Bang Alvian," papar Oliv membagi apa yang dia dapatkan. "Kertas teror. Ada dua orang yang bebas keluar masuk kamar gue. Ibu dan Bang Alvian. Ibu mana mungkin dapat surat teror, artinya itu punya Bang Alvian. Bang Alvian sama Ilham punya surat teror yang sama. Kemungkinannya ada tiga. Mereka sama-sama diteror, Ilham teror Bang Alvian, atau Bang Alvian teror Ilham," tambahnya. 

•••

09.08.2023
10.08.2023

Rasa-rasanya aku jadi manusia sibuk akhir-akhir ini💃

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 10, 2023 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

I Need Your LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora