15. Mayat Kedua

10 6 0
                                    

"Satu satu, aku mau kaya."

"Dua dua, mau pelihara buaya."

"Tiga tiga, buayanya janda."

"Satu dua tiga aku manusia."

Diiringi genjrengan gitar tak jelas Daffa, Natsuki dan Rick saling bersahutan menyanyikan lagu semasa kanak-kanak yang dengan seenak jidat liriknya mereka ganti.

Pagi ini, Element minus Aram tengah berada di warung dekat perempatan kincir, sekedar istirahat saat mereka bersepeda keliling kelurahan hanya untuk tebar pesona pada gadis-gadis pengangguran.

"Anjoy suara gue najisin banget." Rick yang sadar diri berucap itu seraya garuk-garuk kepala. Memang, diantara Element, hanya Rick yang saat bernyanyi suaranya benar-benar tak enak. Natsuki tentu saja yang paling bagus, Aram nomor dua, dan Wara Daffa masih bisa ditoleransi.

"Makannya jangan nyanyi, Nyet," sahut Natsuki.

"Daripada lo nggak ada yang nyautin," balas Rick tak mau salah.

Tidak seperti teman-temannya yang berkumpul di atas bangku kotak beralas baliho bekas demam pemilu 4 tahun lalu, Wara malah duduk di kursi dekat dengan jajaran minuman dan roti seraya berbincang abnormal dengan Ibu Mama sang pemilik warung yang umurnya sudah cukup tua sampai akhirnya teriakan menggelegar menginterupsi mereka semua.

Spontan kepala Daffa, Natsuki, Wara, Rick, dan Ibu Mama terarah pada sumber suara yang tak lain dari wilayah street food yang belum buka. Orang-orang yang berada di sekitar pun sama seperti mereka, langsung melihat ke sumber suara dan dua detik kemudian mereka ramai-ramai berlari ke sana karena teriakan terus berulang.

Anggota Element memimpin karena mereka yang larinya paling cepat. Mengedarkan pandang ke segala arah, keempatnya sama-sama melihat seorang gadis berponi yang terduduk ketakutan di atas aspal sambil berteriak-teriak histeris.

Rick semakin kencang memacu kakinya, berjongkok di sisi gadis itu dan menyentuh bahunya. "Zi, kenapa?" tanya pria itu disusul tiga temannya.

Ziva, si gadis dengan tangan bergetar menunjuk ke arah depan. "I-itu... di... di sana." Sama seperti jarinya, suara Ziva juga bergetar.

Semuanya segera menoleh ke arah yang Ziva tunjuk. Jaraknya hanya beberapa langkah dari mereka, di balik stand jualan yang kosong, seseorang terbujur kaku dengan kardus yang menutupi perut, paha, hingga betisnya. Kardus lain tergeletak di sisi kepalanya, siapapun pasti menduga kalau kardus itu semula menjadi penutup kepala dan dada seorang pria tanpa bibir dengan mata tertutup kain hitam yang terbujur itu. Keberadaan balon hitam turut menjadi perhatian semua orang, balon gas yang talinya melingkar di jari tangan orang itu.

"Gu-gue pikir... dia- dia tunawisma," adu Ziva masih dengan suara bergetarnya. "Gue... gue mau bangun... bangun──"

Belum sempat Ziva menuntaskan kalimatnya, dia sudah tumbang tak sadarkan diri terlebih dahulu hingga membuat Rick dengan sigap menahannya agar tak berakhir tergeletak di jalanan.

"Hm, hm, dia mirip Naufal anak Lentera kelas 11. Kayaknya Naufal beneran. Liat, tahi lalatnya sama. Di tengah dagu." Yah, siapa lagi yang akan sesantai itu kalau bukan Wara? Dia bahkan mendekat pada mayat, berjongkok guna memperhatikan wajahnya tanpa peduli barisan gigi terbungkus darah yang nyengir padanya tanpa tertutupi bibir karena memang tidak ada.

"Warapet. Wara sikopet," komentar Natsuki yang membelakangi mayat dan Wara seraya mengeluarkan ponsel guna memanggil ambulan dan polisi. Di hadapannya, warga lain sudah ricuh, saling bisik-berbisik, mengangkat kamera guna merekam, dan sekitar dua orang memuntahkan bubur campur bakwan dari perut mereka.

•••

Si sisi lain kelurahan, Aram memarkirkan sepedanya di pelataran toko tutup yang berhadapan dengan kos-kosan yang dihuni Ilham. Jangan bertanya dari mana dia tahu alamat ini, dia ada bersama Oliv yang mengenal Ilham dan sedikitnya tahu tentang pria yang umurnya terpaut dua tahun dari mereka itu.

Memantau keadaan, mereka bisa melihat gerbang hitam kos-kosan terbuka dan seorang pria berjaket hitam yang wajahnya benar-benar tak menunjukan keceriaan dan semangat muncul dari balik gerbang.

Pria itu membawa tas hitam di punggungnya, seraya berjalan menjauhi gerbang, tangannya naik guna memasangkan hoody jaket pada kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pria itu membawa tas hitam di punggungnya, seraya berjalan menjauhi gerbang, tangannya naik guna memasangkan hoody jaket pada kepala. Tanpa menoleh ke manapun, dia melangkah cepat dengan bahu turun dan posisi yang sedikit membungkuk.

"Dia Ilham," ucap Oliv memberitahu. Ilham memang kakak kelas mereka, tapi Aram itu minim pergaulan, Oliv jadi berpikir kalau Aram bisa saja tak mengetahui bagaimana rupa Ilham Arendra.

"Iya," balas Aram seadanya.

"Dari sini ke sana nggak ada satu kilo. Tunggu gue, ya?" Rencananya, Oliv yang bisa menembus apa saja akan menyusup ke kamar kos Ilham dan mencari tahu apakah lelaki itu yang membunuhnya. Ayolah, Ilham itu aneh, dia juga inferior terhadap Oliv hingga Oliv jadi memiliki firasat kalau orang itu bisa saja membunuhnya. Dia juga membaca novel Smile karena Hardian menyuruhnya melakukan itu untuk belajar.

Sepakat dengan Aram, Oliv mulai melangkah ke seberang. Menembus pagar, mencaritahu kamar Ilham dengan masuk ke semua kamar kos hingga akhirnya dia menemukannya berkat bertumpuk-tumpuk kertas acak-acakan di dalam kamar dan sebuah foto polaroid Ilham juga Hardian yang memegang buku pertama Ilham ditempel di dinding atas meja belajar.

Oliv mengedarkan pandang ke segala arah, berharap akan menemukan petunjuk meski akhirnya nihil. Dia tak bisa menyentuh apapun, dia tak bisa menyingkap apapun. Nyaris saja dia pergi, tapi keinginan untuk mencoba sesuatu membuatnya mendekat pada lemari. Mendekatkan wajahnya pada pintu lemari dan benar saja! Wajahnya itu menembus. Dia bisa menembus lemari dan entah beruntung atau apa, sensor cahaya dalam lemari bereaksi karena kehadiran kepala Oliv sampai gadis itu tanpa sadar melotot akibat keberadaan kaus putih berlumur darah segar yang tergeletak di bagian bawah lemari. Bau menyengat menusuk hidung, membuat Oliv menggelengkan kepala samar.

Kembali menarik kepala, dia berusaha menyadarkan diri sendiri agar tak berhalusinasi. Setelahnya dia kembali memasukan kepala ke dalam lemari dan nyatanya kaus berlumur darah itu tetap tak hilang. Kaus itu bukan halusinasinya dan yang membuat Oliv dua kali lebih terkejut adalah sesuatu yang mencuat dari kaus. Itu... jari. Jari tangan berlapis formalin.

•••

07.08.2022

I Need Your LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang