O1. Mereka

38 17 17
                                    

Menghirup udara dalam-dalam, seorang gadis berambut hitam sepunggung yang digerai melengkungkan senyum tipis pertanda senang. Dengan tote bag putih yang dia jinjing, kakinya melangkah keluar dari gerbang hitam salah satu universitas negeri di kota ini.

"Oliv." Lambaian tangan dan panggilan itu dia dapatkan dari dekat gerobak es cincau di sisi gerbang. Melangkah kecil mendekat pada orang yang memanggilnya, gadis bernama lengkap Sastra Olivia itu langsung saja digandeng oleh gadis lain yang membalut tubuhnya dengan jaket berwarna hijau pucat.

"Lancar jaya nggak, Liv?" tanya gadis berjaket hijau.

"Jelas lancar jaya," balas Oliv percaya diri. Rasanya lega sekali setelah dia menyelesaikan UTBK tanpa kendala sama sekali. Yah, dia bisa dikatakan pintar, dia juga belajar sangat keras untuk itu hingga kepercayaan diri menguar dari suara dan sorot matanya. "Lo gimana?" tanyanya balik bertanya.

Tersenyum kecut, temannya itu menjawab, "Overall not bad, cuma, yah, lihat aja nanti."

Dua cup es cincau disodorkan penjual, diterima oleh Oliv sedangkan Ziva── temannya, menyodorkan selembar uang berwarna ungu. Sama-sama mengucapkan terima kasih, kedua orang itu melangkah pergi dari penjual es cincau. Berjalan beriringan di trotoar dengan sesekali membicarakan tes yang baru saja mereka selesaikan sampai akhirnya beberapa gadis menghentikan mereka.

"Sastra Olivia, kan?" tanya salah seorang dari gadis-gadis itu.

Mengangguk kecil, Oliv berkata, "Iya."

Senyum merekah timbul di bibir mereka. "Halo, Sastra Olivia. Ka-kami penggemar kamu. Boleh, apa boleh minta foto?" Dari caranya bicara, Oliv tahu kalau dia cukup gugup. Maka dari itu senyuman hangatnya timbul, membuat wajah cantiknya jadi berkali-kali lipat lebih cantik.

"Boleh banget," jawab Oliv hingga akhirnya dia dan gadis-gadis itu mengambil beberapa foto bersama. Seperti sebelum-sebelumnya, Ziva akan bertindak sebagai fotografer dadakan dan membuat es cincau harus terlantar di atas pot tanaman sisi trotoar.

"Malam ini aku ada acara book signing di toko buku Launa Pusat, loh. Kalian datang, ya, kalau ada waktu," ucap Oliv begitu acara foto bersama selesai.

"Jelas, dong. Kami udah janjian datang ke sana. Sayang banget kalau lewatin acaranya Satra Olivia," balas salah satu dari mereka. Gadis berambut pendek dengan kacamata yang menghias wajah bulatnya.

"Setuju. Seperti yang tadi aku bilang, kami ini penggemar kamu. Pasti datang, dong, meski otak pegel linu gara-gara UTBK." Perempuan yang meminta izin foto dengannya tadi terdengar lebih rileks. Dia bahkan mengakhiri kalimatnya dengan cengiran.

Setelah dua tiga kalimat saling terlontar, gadis-gadis itu akhirnya pamit pergi. Membuat Oliv dan Ziva kembali melanjutkan langkah mereka menuju halte bus beberapa ratus meter di depan sana.

"Kayaknya gue harus minta gaji, deh, sama lo, Liv. Tiap jalan, gue pasti jadi kang foto." Itu Ziva. Memulai pembicaraan di tengah-tengah mereka.

"Suruh siapa jalan sama artis," balas Oliv bercanda.

"Padahal minat baca kota ini miris. Bisa-bisanya fans lo di mana-mana," ucap Ziva memasukan sesendok cincau ke dalam mulut.

"Nggak semua yang ngaku fans beneran fans. Sebagian dari mereka pasti cuma ikut-ikutan doang."

Obrolan ringan mereka terus berlanjut, sesekali diselingi tawa akibat canda yang mengalir alami dari mulut keduanya. Sampai akhirnya, halte yang dituju sudah di depan mata. Membuang cup es cincau yang isinya sudah habis tak tersisa pada tempat sampah, dua gadis seumuran itu sama-sama mendudukan diri di kursi panjang yang disediakan.

Dering telepon terdengar. Oliv yang tahu itu bersumber dari ponselnya merogoh tote bag yang menggantung di bahu kiri, mengeluarkan ponsel dari sana guna mengangkat panggilan.

"Halo, Mas, sore," sapa Oliv terlebih dahulu.

"Ah, ya, Oliv, sore juga," balas orang di seberang sana.

"Kenapa, Mas?" tanya Oliv.

Tanpa menunggu lama, seseorang yang meneleponnya itu membalas, "Cuma mau ngingetin kalau kamu jangan sampe telat. Pokoknya harus udah di lokasi satu jam sebelum acara. Inget, yang datang bukan cuma dari Launa dan Jabodetabek aja." Yah, meski dia baru saja menuntaskan hal yang cukup berat, jadwalnya bukanlah jatuh ke atas kasur dan bergulung dengan selimut tebal beraroma vanilla.

•••

Di antara Laut Jawa dan Jakarta Utara sebelah barat, ada Kota Launa yang juga menjadi bagian Provinsi DKI Jakarta. Kota kecil dengan penduduk yang tak terlalu padat hingga membuatnya terasa lega. Dibanding kota tetangga, kesibukan kota ini bisa dikatakan biasa-biasa saja, gedung pencakar langit pun tak sebanyak kota sebelah. Bukan karena terlambat maju, hanya saja hal itu sudah ditetapkan sebagai ciri khas Launa. Alih-alih mendirikan gedung 30 lantai, Launa lebih fokus pada perawatan dan pengembangan hutan yang menelan 45% wilayah kota sesuai apa yang ditetapkan oleh pemerintah negara. Kenyataan itu membuat Launa menjadi kota yang lebih redup dari tetangganya.

Pukul 19.30, di jalanan khusus pesepeda pusat kota, seorang pemuda dengan tas gitar dipunggung yang mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi membelah angin malam dan rintik hujan yang masih malu-malu untuk turun. Tak hanya seorang diri, di sekitarnya, 4 sepeda lain saling susul menyusul seolah tengah bersaing siapa yang lebih dulu sampai ke tempat tujuan.

"Keduluan, wleee." Seseorang yang menyalip pria tadi menjulurkan lidah. Mengayuh lebih kencang seraya tertawa renyah. Tak mau kalah, pria itu semakin memacu laju sepeda, menyalip dua temannya dengan senyum kecil nan lembut di wajah hangatnya.

15 menit berlalu dan parkiran sebuah gedung besar 4 lantai di pusat kota menjadi garis finish mereka. Dengan napas yang memburu, pria pertama menjadi orang pertama yang berhenti di garis finish itu. Selang tiga detik, pria berjaket merah hitam menyusul si sisi kanannya, kemudian pria yang tadi mengejek pria pertama, lalu kedua pria lainnya datang bersamaan.

"Ck, menang mulu lo, Ram." Lelaki yang rambut hitamnya sedikit pirang bekas dicat berucap itu seraya merangkul orang di sampingnya.

"Karena usaha," balas pria berhoody biru yang menggendong case gitar lengkap dengan gitarnya.

"Kirini isihi." Lelaki berkalung salib yang bahunya dirangkul malah mengejek dengan mencebikan bibir.

"Iri bilang, Nat." Kali ini pria berjaket merah hitam yang buka suara.

"Yang namanya Daffa Yasaka nggak diajak, ya." Pria berkalung salib── Natsuki, memandang sinis teman berjaket merah hitam itu.

"Masih aja dendam ini anak satu," timbrung pria sedikit pirang.

"Asal kalian tahu, acaranya Sastra Olivia udah berlangsung 40 menit." Suara datar terkesan tak peduli yang keluar dari orang berjaket denim dengan earphone di satu telinga membuat mereka saling pandang-pandangan. Natsuki sontak menghempaskan rangkulan Rick── temannya, secepat kilat meninggalkan parkiran dan masuk ke dalam mall seraya melindungi kepalanya dari hujan dengan tangan. Tak mau kalah, Rick juga ikut menyusul, sedangkan Aram, Daffa, dan lelaki berjaket denim bernama Mahawara hanya berjalan dengan santai. Mereka bahkan sempat menarik payung dari sepeda dan menggunakannya untuk menghalau hujan.

•••

25.07.2023

Selamat datang di I Need Your Life atau mari kita singkat menjadi INYL. Jadi, apa ada kesan tertentu yang merasuk di hati setelah membaca part satu ini?

Part satu, tuh, penentu, tapi aku sebenarnya nggak yakin sama ini. Cuma, yah, dipikirin sedemikian rupa pun aku nggak bisa nulis part satu yang lebih baik lagi. Ah, dahlah, semoga aja ada yang kecantol sama si part satu ini sampe nungguin part duanya💃

I Need Your LifeWhere stories live. Discover now