12. Publisher

9 5 0
                                    

Tidak pernah sebelumnya Aram membayangkan akan ada saat dimana dia mengendap-endap masuk ke dalam pekarangan rumah orang lain layaknya maling amatiran.

Memang dia datang dengan anak sang pemilik rumah, tapi orang itu tidak ada wujudnya hingga kalau tertangkap, Aram benar-benar akan dalam masalah.

"Santai aja, Aram. Nggak ada siapa-siapa di rumah gue." Melihat gelagat Aram yang mengganggunya, Oliv jadi ingin berkata sekeras mungkin kalau mereka tidak akan terkena masalah.

"Beneran?" Sebenarnya Aram tidak sungguh-sungguh ingin mengatakan itu. Spontan saja mulutnya bicara karena terlalu tegang dengan keadaan.

Tanpa diduga, punggungnya malah dipukul dengan keras. "Tegak. Lo bukan maling," tegas Oliv.

Menormalkan degup jantungnya, Aram berhasil lebih rileks. Sampai di depan pintu utama, keduanya dihadapkan dengan kunci pintu digital.

"111213," ucap Oliv memberitahu.

Gerak cepat, Aram segera menekan angka-angka itu, dan setelah bunyi tutalit singkat, pintu bisa Aram buka.

"Kamar gue lantai dua sebelah kanan."

Sesuai apa yang Oliv arahkan, mereka menaiki satu persatu anak tangga. Melangkah sedikit di lantai dua dan pintu kamar Oliv sudah ada di depan mata. Sebelum masuk, Aram menatap kenop pintu, merasa tak enak karena akan masuk lebih jauh ke dalam rumah orang lain. Namun, Oliv yang sudah lebih dahulu menembus pintu membuat Aram merasa tak perlu ragu dan mendorongnya.

Kamar bernuansa kuning pucat dan putih. Ini tempat Oliv istirahat, tempat Oliv menulis bukunya. Oliv menghabiskan banyak waktu di sini dan Aram... melihatnya.

Tidak mau membuang waktu sia-sia, Aram mendekat pada meja belajar gadis itu. Membuka laptop yang ada di atas meja dan menyalakannya. Memasukan flashdisk guna menyalin data, menunggu beberapa saat, dan selesai.

"Rasanya aneh kembali ke sini setelah mati." Senyum yang Oliv tunjukan saat mengatakan itu Aram tangkap sebagai senyum penahan rasa sakit. Aram tahu, meski Oliv tak banyak berkomentar ataupun murung, ketakutan dan perasaan sedih pasti ada karena bagaimanapun Sastra Olivia tahu kalau dirinya telah mati. Kenyataan semacam itu jelas pukulan yang hebat, bukan?

Aram mengangkat tangan, meremas perutnya sendiri dan berkata, "Toilet. Ada toilet?" cepat sekali pria itu mengatakannya. Ekspresi kesakitan Aram nyaris membuat Oliv tertawa. Ayolah, selama ini Oliv jarang melihat keberagaman ekspresi seorang Aram Biru.

"Rumah macam apa yang nggak ada toiletnya?" tanya Oliv menuntun Aram menuju sisi barat kamar. Menunjuk pintu putih di sana dan Aram buru-buru masuk. "Ada-ada aja," gumam Oliv. Melepaskan mata dari pintu toilet, gadis itu kembali melihat-lihat seisi kamar. Meski tak bisa menyentuh apa-apa, tapi Oliv tetap bisa menikmati keberadaannya di sini. Entahlah, pulang memang selalu menjadi obat terbaik untuk apapun. 

Sedangkan di dalam toilet, Aram duduk tenang di atas closet yang tutupnya tak dia buka.

•••

Di samping tiang listrik, seorang perempuan berkuncir kuda dengan sedikit rambut yang dibiarkan menjuntai di kedua sisi wajah memainkan batu dengan ujung sepatunya seraya memasukan kedua tangan pada saku jaket kulit hitam mengkilap yang menimpa crop top putih yang dia pakai. Gelagatnya tampak seperti orang yang tengah menunggu sesuatu sampai saat telinganya menangkap bunyi khas gerbang yang terbuka, dia menoleh ke samping.

Dia terdiam, sepasang bola matanya bertatapan langsung dengan sepasang bola mata indah beriris hitam. Mereka sama-sama diam, hanya saling tatap untuk beberapa detik sebelum perempuan itu memalingkan wajah.

I Need Your LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang