13. Gue Inget Kenapa Gue Dibunuh

6 3 0
                                    

Sore hari setelah dari pusat kota, Aram yang telah mandi, berangkat menuju rumah Natsuki untuk berlatih lagu yang akan mereka bawakan di pesta kelulusan nanti.

Berpapasan dengan Daffa di tengah jalan, mereka berakhir bersepeda bersama menuju rumah si pria Jepang-indonesia.

Oliv yang tak dilihat Daffa menikmati hembusan angin yang menerbangkan rambut-rambutnya di boncengan Aram. Melihat langit jingga dan burung yang terbang bergerombol membentuk mata panah. Sungai di bawah yang arusnya cepat juga bisa dia lihat dengan rerumputan hijau di sisi-sisinya. Bau debu bercampur asap kendaraan yang khas tercium di hidung dan suara berisik kendaraan berebut masuk ke telinga Oliv dengan suara-suara yang dikeluarkan Aram dan Daffa.

"Mangga."

"Galah."

"Lahan."

"Hantu."

"Tumis."

"Misa."

Oliv tak ingat bagaimana awalnya, tapi Aram dan Daffa yang bersepeda bersisian berakhir bermain sambung kata. Jalanan khusus sepeda yang mereka lalui sore ini sedang sepi, itulah kenapa meski mereka melakukan itu tidak akan ada yang protes. Di sisi mereka, mobil-mobil dan motor melaju menuju arah yang sama, terkadang ada yang melaju dengan kecepatan tinggi ataupun sedang.

Berbelok, mereka meninggalkan jalan raya. Melewati beberapa rumah warga, berpapasan dengan penjual bakso kaki lima juga penjual es krim bersepeda, rumah Natsuki akhirnya bisa mereka lihat.

Begitu sampai di depan gerbang, Daffa turun dari sepedanya. Membuka gerbang dan membiarkan Aram masuk sebelum dirinya menyusul dengan sepeda yang dituntun.

"Dari kemarin gue sepedaan mulu." Oliv berbicara kala menunggu Aram melepaskan helmnya.

"Nggak mau?" tanya Aram.

"Bukan gitu. Enak aja rasanya, berasa beda. Gue biasanya ojol kemana-mana," balas Oliv yang hanya digubris Aram dengan dehaman kecil.

Memasuki rumah dan berjalan ke bagian belakang guna menuju studio, atmosfer aneh langsung menyapa Aram dan Daffa karena mereka mampu menangkap kehadiran seorang wanita di dalam studio. Tengah duduk bersilang kaki seraya menatap Rick, Natsuki, dan Wara yang duduk berjejer di sofa depannya.

"Mampus," ucap Daffa dengan suara kecil. Langkahnya sudah berhenti, begitupun dengan Aram. Pria berjaket merah hitam itu menoleh ke samping, lewat tatapan matanya dia seolah bicara dengan Aram dan dua detik kemudian mereka langsung berbalik badan. Berjalan cepat sambil berusaha meminimalisir suara yang tercipta dari langkah kaki mereka.

Tidak jadi menuju studio, mereka malah berakhir di kamar Natsuki yang sudah sering mereka kunjungi. Persetan dengan izin dari sang pemilik, mereka sudah lama saling mengenal hingga sopan santun terkadang terabaikan.

"Aram, kenapa?" Saat Daffa masuk ke kamar mandi, Oliv menanyakan itu.

Membuka lebar-lebar jendela kamar Natsuki, Aram membalas, "Ada Mamanya Rick."

"Terus?" Kalau bertemu orang tua teman harusnya bertegur sapa bukan? Menyalimi tangannya dan melakukan ritual lain layaknya remaja terpelajar. Namun, Aram dan Daffa malah menghindar seolah ibu Rick adalah musuh mereka.

"Rick kelihatan di tv unjuk rasa, dia takut buat pulang dan nginep di sini dua malam. Mama sama Papanya Rick orangnya tegas, jadi kami pasti diomelin," jelas Aram dengan kalimat kakunya.

Tegas, ya? Dia jadi mengingat seseorang. "Gue kira Rick orangnya bebas," ucapnya.

"Rick banyak tuntutan," ungkap Aram. Bersamaan dengan itu, Daffa muncul dari balik kamar mandi.

I Need Your LifeWhere stories live. Discover now