Bab 27. Sakit yang Tidak Sembuh

190 64 9
                                    

-oOo-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-oOo-

DI antara sekian banyak cara mati yang ada, kenapa aku harus mati tertimpa menara besi?

Sesaat sebelum insiden itu datang, kata-kata itu merabung di kepala Haura laksana asap pekat, menyihir dunianya ke semacam abstraksi semu antara ilusi dan kenyataan. Gadis itu terpaku ditelan keterkejutan; tidak sempat menyingkir, menunduk, atau bahkan berteriak. Satu-satunya hal yang terpikir di kepalanya saat itu adalah ajal yang berlari menggapainya.

Tiang-tiang dan pipa besi terjun ke bawah bagai hujan tombak, menyebabkan bunyi kelontang dan decitan keras yang merobek udara. Insiden itu terjadi begitu singkat, tetapi beberapa orang yang melihat apa yang terjadi, dapat mengingatnya dengan detail; mula-mula seseorang dari antara mereka berlari, menarik Haura dalam pelukan erat, kemudian memasrahkan keduanya terbanting ke lantai, yang sesegera mungkin disambut oleh runtuhan tiang-tiang besi tanpa ampun.

Barulah pada saat itu, semua orang berteriak.

Telinga Haura berdenging karena seruan bersahut-sahutan itu. Dia membuka mata―sesaat berpikir bahwa dirinya telah tewas, atau setidaknya lumpuh, sebab tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Sepersekon detik kemudian dia tersadar bahwa seseorang sedang memeluk dan melindungi tubuhnya dari hantaman besi-besi. Kepala sang penolong terkulai melewati lehernya, dan Haura bisa merasakan napas panas di telinga, serta bisikan bernada khawatir;

"Kamu enggak papa?"

Haura kebingungan untuk menjawab, sebab saat ini dirinya nyaris tidak bisa melihat apa-apa kecuali lungsuran besi-besi yang mengubur tubuh mereka berdua. Suara dari luar bersahut-sahutan―ada lolongan, jeritan, dan tangisan yang memanggil-manggil namanya. Kenyataan ini membuatnya semakin terdistraksi dan terserang gelombang ketakutan.

"Haura?" Kepala Jauza terangkat dari leher Haura. Tangannya yang hangat melapisi pipi Haura yang kini tegang dan basah, entah oleh keringat atau air mata. Di tengah-tengah kesuraman ini, Haura menatap wajah Jauza yang memperhatikannya dengan khawatir. Pemuda itu bertanya lagi dengan cemas, "Hei, jawab. Kamu enggak luka, kan?"

Gadis itu menggeleng. "Enggak luka. Ka-kamu gimana?"

Pertanyaan itu belum sempat terjawab sebab Jauza berusaha mendorong besi-besi yang bertumpuk di antara mereka. Beberapa sekon kemudian, pengap di sekitarnya mulai lenyap. Dari celah pipa dan tiang yang disingkirkan, Haura melihat cahaya lampu ruang pertunjukan, diiringi seruan-seruan terkejut dari orang-orang yang membantu mereka keluar dari tumpukan pipa besi. Tubuh Haura dipeluk oleh Kinanti yang kini menangis di pundaknya, secara panik sekaligus lega mengatakan betapa senangnya dia melihatnya lagi.

"Haura, Ya Tuhan!" Asalia dan kawan-kawannya pun memperhatikan Haura lebih intens. Mereka meraba sekujur tubuh gadis itu untuk melihat apakah ada luka, "Kamu enggak papa, kan? Kamu luka di mana? Kita ke rumah sakit, ya!"

"Aku ... aku enggak luka," kata Haura. Sebetulnya bahu dan lengannya nyeri karena pelukan Jauza, tetapi itu tidak penting. Dibandingkan terluka, dia lebih merasa syok. Kejadian tadi menyisakannya dengan sekelumit perasaan bingung dan rasa bersalah. Haura teringat Jauza, lalu dia melepas diri dari jerat khawatir kawan-kawannya dan berlari menghampiri tim sirkus, yang kini berkerumun tidak jauh darinya.

𝐀𝐍𝐆𝐄𝐋'𝐒 𝐂𝐈𝐑𝐂𝐔𝐒 (𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓) Where stories live. Discover now