Bab 1 - Dua Tiket Sirkus

1.6K 206 66
                                    

-oOo-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

TIDAK ada yang lebih menyeramkan daripada terbangun di pagi hari dan mendapati ruang tamunya serupa kapal pecah. Haura merasakan kejengkelan itu melumuri benaknya sejak dia berusia dua belas, sampai sekarang, di usianya yang ketujuh belas tahun, lantaran Mama tidak henti berbuat ulah demi melampiaskan kemarahannya pada Papa. Kali ini pun, ruang tamu menjadi sasaran. Kaleng-kaleng soda dan botol anggur dibiarkan jatuh dari meja sehingga isinya menumpahi karpet. Obat-obatan anti depresan dan pembersih pencernaan berceceran di samping semangkuk keripik kentang yang sudah melempem, bahkan ada bau tajam menjijikkan menguar dari jaket yang menggantung loyo di sofa.

Haura tahan-tahan saja untuk tidak melawan Mama, karena fase sinting wanita itu pasti akan membuat kepalanya sakit dan suasana hatinya rusak seharian. Daripada begitu, lebih baik diam, menyingkir, atau melakukan apa pun yang bisa mengalihkan perhatiannya dari tingkah senewen Mama yang akan menyalahkan siapa saja yang berani menyenggol. Itu yang biasanya Haura lakukan. Namun, kali ini, entah bagaimana kemarahan Haura tersentil. Barangkali karena dia sudah tak tahan menjadi babu yang ujung-ujungnya membereskan segala kekacauan.

Mudah untuk menemukan pelaku di balik hancurnya ruang tamu, sebab Haura sudah mengalami pengalaman serupa di hari-hari sebelumnya. Gadis itu menghampiri bilik dapur, lalu menemukan Mama, dalam balutan cheongsam―gaun khas mandarin berwarna hijau botol yang dikenakannya untuk pertemuan bisnis semalam―berdiri sempoyongan di dekat konter sambil memegangi segelas air mineral.

Mata Mama masih merah, pekat oleh kabut teler, memandangi Haura seperti menatap orang asing. "Kenapa lihat-lihat?"

Mama Haura, atau semua orang di blok pemukiman biasa memanggilnya dengan sebutan Bu Samaia, mendelik marah pada putrinya yang hanya bisa memasang tampang prihatin bercampur jengkel. Semalam, Mama memang kelewatan minum saat merayakan pertemuan bisnis dengan kolega barunya. Padahal dokter terapinya sudah mewanti-wanti untuk berhenti menyentuh alkohol, tetapi mamanya tak tahan lagi. Sebetulnya Haura berpikir bahwa melibatkan perintah dokter dalam kasus wanita ini adalah urusan sia-sia. Lima tahun itu bukan waktu yang sedikit untuk melunturkan temperamennya, dan Mama butuh lebih lama dari itu.

"Kamu pergi aja ... udah waktunya sekolah!" kata Mama sambil cegukan, membuat Haura mengernyitkan kening karena mencium bau tajam alkohol dari napasnya. Kata-kata Mama terdengar ngawur dan melantur, "Anak perempuan―" cegukan lagi "―harus pinter, supaya ... enggak bisa ditipu laki-laki!"

Haura melingkarkan lengan di bahu mamanya. "Ayo kuantar ke kamar."

Tapi Mama mendorong Haura agar menyingkir darinya. "Panas! Jangan pegang-pegang!"

Mama mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan tampang berkonsentrasi. Entah siapa yang dihubungi, barangkali klien. Oh, seolah-olah penampilannya yang sekarang cocok untuk menyambut tamu. Bukannya terlihat profesional, Mama seperti berdiri di ambang jurang keteleran. Rambutnya acak-acakan seperti kain pel yang sudah lama tak dicuci, sementara riasan wajahnya luntur sehingga membuat wajahnya kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. Haura sudah hafal kisi-kisinya. Kalau bukan pesta yang membuat Mama menjadi seperti ini, Mama pasti melakukan sesuatu yang memicu ingatan buruk masa lalunya.

𝐀𝐍𝐆𝐄𝐋'𝐒 𝐂𝐈𝐑𝐂𝐔𝐒 (𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang