14ㅣHari Danu-Runi Sedunia

Começar do início
                                    

“Kamu, pacarnya Bayu.”

“Enggak! Kata siapa?!” Makin lantang suaranya sampai-sampai saya harus sedikit menjauhkan telepon dari telinga.

“Dia sendiri yang ngomong. Tadi ketemu di warung Mang Jajang,” jawab saya.

“Bohong itu! Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia. Waktu itu aku pernah bilang kan kalau dia itu suka aku, tapi akunya gak suka.” Akhirnya saya bisa tersenyum lagi dengar perkataannya. Syukurlah kalau begitu.

“Maafkan aku ya, A. Maafkan karena udah mengingkari janji. Aku menyesal,” ucapnya.

Rasanya kecemasan saya selama ini sangat membuang-buang waktu saja. Saya sadar, kami hanya perlu waktu untuk bicara.

“Saya sudah memaafkan kamu, Runi. Maafkan saya juga sudah berpikiran buruk tentang kamu. Saya sempat meragukan kamu. Tapi saya akhirnya sadar, kamu gak akan mengingkari janji kalau gak ada maksud tertentu.”

“Setelah ini kita harus banyak-banyak bicara lagi ya, A. Biar gak ada kesalahpahaman lagi,” katanya.

Saya pun tersenyum, “Iya.”

“Oh iya, aku tadi udah baca surat dari Aa loh. A Danu gak salah kok, yang salah kan aku. Terima kasih buat batagornya juga,” ucapnya.

“Jangan ucapkan terima kasih ke saya Runi. Yang kasih batagornya kan Akangnya. Kamu harus berterimakasih ke Akang batagornya,” kata saya yang akhirnya buat dia terkekeh di ujung sana.

“Tadi udah berterimakasih sama Akangnya kok,” ujarnya sebelum kembali terkekeh.

“Besok kamu di rumah?” tanya saya.

“Di rumah sih. Kenapa emangnya?”

“Saya mau ke rumah kamu.”

“Oh, ngapain?” tanyanya.

“Mau ngelamar.”

“HAH?”

Saya tertawa sejenak sebelum berkata, “Bercanda, Runi. Cuman mau bertemu karena rindu.”

“Oh. Bilang atuh.”

Saya terkekeh, “Jujur saja, kamu rindu saya kan?”

Dia terdiam dulu sebelum kembali bicara, “Iya.”

“Oh...”

“Ya manusiawi kan. Aku kalau lama gak ketemu Ayah juga rindu kok.” Dia menyela kata saya. Saya tebak pasti pipinya memerah saat ini. Lucu sekali.

Saya terkekeh dulu sebelum bicara lagi, “Iya-iya. Manusiawi kok.”

Dia hanya diam.

“Ya sudah sampai ketemu besok.”

“Eh mau ditutup nih?” tanyanya di sana yang terdengar seperti sedikit kecewa.

Saya lagi-lagi tersenyum dibuatnya, “Besok kan ketemu, Runi.”

“Tapi kan...”

“Iya saya tahu kalau kamu rindu. Saya juga rindu kamu, Runi. Tapi tunggu besok ya, kita ketemu,” ujar saya sebelum diiyakan olehnya.

“Sebelum ditutup, ada hal yang mau saya tanyakan dulu sama kamu,” sahut saya.

“Tanya apa?”

“Tadi kamu sholat subuh?” tanya saya.

“Iya,” jawabnya.

“Biasanya sebelum subuh juga melaksanakan dua rakaat gak?” tanya saya lagi.

Dia Arunika, 1996 ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora