Setelah kepulangan saya dari membeli batagor, saya sudah memutuskan untuk menghubungi Runi lagi. Baru saja melihat wajahnya beberapa menit yang lalu, saya sudah dibuat rindu olehnya. Memang magis perekat Runi itu sangat kuat. Saya tak bisa lama-lama jauh darinya.
Maka dari itu, di sini, saat ini, saya sudah siap untuk berbicara dengannya lagi. Dengan segera saya tekan tombol telepon. Lama berdering, kemudian saya mendengar suara itu lagi.
“Hallo?”
“Runi.”
“A Danu? Aa kemana aja? Kenapa gak pernah keliatan?” serunya dari sana.
“Saya gak kemana-mana, Runi. Saya masih di bumi pertiwi ini.”
Gak seperti yang saya harapkan. Dia malah kesal dan gak tergelak seperti biasanya.
“Aku serius! Dua hari ini kenapa ngilang? Aku ada salah ya makanya kamu gak mau ketemu sama aku?”
Saya sedikit tertegun. Sejak kapan Runi cantiknya saya jadi banyak bicara seperti ini?
Saya terdiam begitu lama sampai-sampai dia menyapa saya lagi, “A Danu?”
“Kamu cemburu aku jalan sama Bayu, kemarin?”
Lagi-lagi saya bungkam.
“Jawab A!” katanya lagi.
“Cemburu itu penyakit, Runi.” Saya akhirnya berkata.
“Terus?”
“Dan sekarang saya sedang sakit,” lanjut saya.
“Dalam artian Aa cemburu kan? Kalau cemburu teh ngomong, jangan ngilang!” Dari suaranya saja saya dapat membayangkan wajah kesalnya di sana.
“Ya sudah. Aku gak akan keluar sama Bayu lagi,” katanya lagi.
“Ya saya gak melarangmu, Runi,” sahut saya.
“Ya terus kenapa ngilang?!”
“Kan tadi saya sudah bilang. Saya sakit dan saya gak mau kamu tertular.”
Saya dapat mendengar hembusan napas gusarnya, “Tapi penyakit ini beda. Penyakit Aa itu cemburu. Gak bisa nular!”
Saya terdiam lagi. Entah kenapa rasanya saya seperti sudah kehabisan tabungan kata untuk menjawab setiap perkataan yang Runi lontarkan.
“Aku janji. Gak akan keluar sama dia lagi. Maaf, yang kemarin sudah ku ingkari. Tapi untuk kedepannya, aku janji gak akan menuruti apa maunya lagi. Aku sebenarnya juga gak suka jadi orang yang gak enakan begini, ” ujarnya yang entah kenapa gak bisa buat saya tersenyum seperti biasanya.
“Katanya pacar, masa gak mau nuruti permintaannya?”
“Hah? Pacar siapa?” ujarnya lantang sampa-sampai saya harus menjauhkan telepon dari telinga saya.
YOU ARE READING
Dia Arunika, 1996 ✔
General Fiction"Jika bisa, saya ingin memberikan segalanya yang saya punya untuknya. Sekalipun itu nyawa." Hanya kisah picisan seorang lelaki yang bercita-cita mengencani perempuan merah jambunya.