Chapter 24

990 112 11
                                    

Perubahan suasana hati Ashraf dalam waktu yang singkat membuat Rine tidak berani bertanya apapun. Usai makan, Ashraf lantas mengajaknya pulang. Lelaki itu menyetir dengan kecepatan tinggi, Sorot tajamnya hanya fokus tertuju pada jalan, sikap diamnya seolah ia tidak ingin diganggu dan hanya ingin berkonsentrasi menyetir.

Sampai di rumah, Rine melepas sabuk pengamannya. Ia yang baru membuka pintu pun beralih menatap Ashraf yang masih bergeming di kursinya.

"Aku pergi dulu sebentar, ada urusan lain."

"Nggak bisa besok pagi?"

Ashraf langsung menggeleng.

"Tapi sekarang udah malem." Melihat Ashraf yang hanya terdiam akhirnya Rine mengalah. "Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabarin aku."

Ashraf hanya mengangguk. Begitu Rine sudah turun, ia pun menancap gasnya meninggalkan rumah. Sementara itu, di depan pintu Rine masih berdiri menatap kepergian Ashraf. Entah urusan apa yang begitu penting sampai-sampai ia harus pergi semalam ini.

***

"Pak Ashraf, kondisi Ibu bapak melemah, saat ini beliau sedang dalam penanganan dokter."

Saat menerima kabar tersebut beberapa saat lalu, Ashraf langsung memutuskan pergi ke Bogor untuk melihat kondisi ibunya secara langsung. Ia benar-benar kalut sekaligus takut, dalam pikirannya hanya ada ibunya, ia tidak bisa memikirkan hal lain lagi.

Berdasarkan penjelasan dokter yang memeriksa ibunya, kondisi ibunya yang semakin menurun membuat ia harus tetap berada di ranjangnya. Meski kesadarannya masih penuh, namun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh dokter.

Ashraf yang mendengar hal tersebut hanya bisa terduduk lemas. Tatapannya kosong ke arah lantai, ia tidak mampu lagi menopang bahunya agar tetap tegar. Meski benci dan tidak terima, namun kenyataannya kini ia seolah hanya tinggal menunggu waktu saja. Hatinya terasa sesak membayangkan skenario buruk yang berputar di kepalanya. Ashraf pun mengusap wajahnya, ia lantas masuk ke ruang rawat ibunya. Masih ada satu suster yang sedang mengecek keadaannya.

Terlihat wanita yang terbaring lemah di ranjang dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya itu sedang terlelap.

"Oh iya Pak, tadi siang ada yang datang mengunjungi ibu ke sini," ucap suster yang selama ini menjaga ibunya selama di panti rehabilitasi.

"Siapa?"

Suster itu berpikir sejenak. "Pak Setyo ... ya, Pak Setyo namanya."

Ashraf menghela napas panjang. Perasaannya langsung kesal namun ia berusaha menahannya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu Pak."

"Baik Sus, terima kasih."

Ashraf menarik kursi untuk duduk di samping ranjang ibunya. Ia mematap lekat wajah sayu itu, tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun. Ashraf lalu menggenggam satu tangan ibunya. Ukurannya lebih kecil dari Ashraf, dan terasa lembut serta lemas. Ashraf mencium punggung tangan itu. Matanya pun memanas merasakan hatinya yang amat perih.

"Mah ... jujur ... saya belum siap kalau harus kehilangan Mamah lagi ...."

***

Esok pagi, Rine terbangun dalam keadaan ranjang di sebelahnya masih kosong. Ia pun memeriksa ruang ganti, kamar mandi, namun tak melihat Ashraf di sana. Saat melihat ponselnya, tak ada satu pun balasan pesan dari Ashraf. Rine berusaha menghubunginya lagi, namun panggilannya tetap tak terjawab. Di tepi ranjang Rine duduk, ia menghembuskan napas, batinnya benar-benar tidak tenang sejak semalam memikirkan keberadaan Ashraf saat ini.

Hot and ColdWhere stories live. Discover now