Chapter 23

1K 119 17
                                    

Hari terus berganti hari. Ternyata meluluhkan hati Ashraf tidak semudah yang Rine kira. Mengikis jarak hubungan antara mereka cukup sulit, tembok yang dibangun Ashraf terlalu tinggi dan kokoh hingga membuat Rine kesulitan menerjangnya. Tapi apapun itu, Rine tidak akan menyerah. Rine yakin, segala sesuatu pasti membutuhkan waktu, begitu pun dengan Ashraf. Sejauh apapun dia mengisolasi dirinya, pasti akan ada saatnya Rine dapat menjangkau perasaan Ashraf.

"Ini Pak, ada beberapa tawaran interview untuk majalah, podcast dan talkshow. Untuk podcast dan talkshownya sendiri, saya lihat sih kontennya bagus-bagus Pak, bertujuan untuk mendidik dan memberikan pengetahuan, jadi nggak hanya sekedar entertain saja. Gimana, Pak?" Frans berdiri di hadapan Ashraf untuk memberikan laporan. Sementara itu, Ashraf fokus dengan komputernya.

"Selain itu?"

"Ini baru kemarin sih Pak, ada kiriman undangan dan proposal seminar dari Universitas Seni Yogyakarta dan meminta Pak Ashraf untuk menjadi narasumbernya."

Ashraf terdiam namun matanya masih tertuju pada layar komputer. "Acara seminar?"

"Iya, Pak. Seminar nasional untuk mahasiswa FTV."

Sejenak Ashraf terdiam. Ia kemudian menatap Frans. "Coba kirim undangan dan proposalnya, nanti saya kabari lagi setelah review."

"Baik, Pak. Kalau yang tawaran interview-nya bagaimana, Pak?"

"Bilang aja seperti biasa."

Frans mengangguk. "Oke, Pak. Itu saja Pak untuk saat ini."

"Terima kasih, Frans."

Frans lalu meninggalkan ruangan.

Sementara itu, Rine yang diam-diam menyimak pembicaraan mereka seraya memandang laptop-nya pun kemudian beralih menatap Ashraf. Ia memandangnya sejenak.

"Kenapa kamu nggak pernah terima tawaran interview?" Pertanyaan itu lantas membuat Ashraf menatapnya.

"Aku cuma nggak tertarik aja. Kebanyakan mereka hanya ingin tau sedikit tentang karya aku, sisanya pasti yang ingin mereka kulik adalah kehidupan pribadi aku."

Rine terdiam cukup lama.

"Aku pergi ke ruang editing dulu." Ashraf beranjak dan hanya diangguki dengan senyuman tipis oleh Rine.

Sepeninggalnya, Rine lantas membuka mesin pencarian di laptopnya. Ia pun mengetik nama Ashraf Danujaya. Tidak banyak foto-foto dan pemberitaan soal lelaki itu, sebagian besar adalah yang berkaitan dengan film atau series garapan rumah produksinya. Namun, Rine menemukan satu video, ternyata Ashraf pernah melakukan interview pada 2012, itu sudah sangat lama, dia bahkan masih terlihat sangat muda dan cukup kurus, wajahnya begitu polos, sepertinya usia Ashraf saat itu masih pertengahan 20-an.

Sepanjang menonton interview itu, Ashraf terlihat begitu santai dan lugas menjawab semua pertanyaan pewawancara mengenai projek film-nya. Ia tidak canggung sama sekali, Rine bahkan dibuat senyum-senyum sendiri melihatnya. Hingga pewawancara itu sampai pada satu pertanyaan yang berhasil membuat Ashraf terdiam menung.

"Kita—dan semua penonton di studio maupun di rumah, pasti tau. Your mother—she's a legend, a very big star pada masanya. Apakah, pilihan kamu menjadi produser ini tidak terlepas dari peran mamah kamu?"

Ekspresi wajah Ashraf terlihat enggan namun ia tetap berusaha untuk profesional. Akhirnya Ashraf menggeleng.

"Itu tidak ada hubungannya dengan mamah saya. Ini murni atas kemauan saya. Ketertarikan saya terhadap perfilman sudah muncul sejak saya masih kecil, jadi, influence terbesar yang membuat saya memilih menjadi produser tidak lain karena hobi saya yang suka membaca dan menonton film." Ashraf terlihat berusaha mengalihkan fokus pembicaraan. Namun pewawancara itu seperti belum menyerah untuk mengulik kehidupan pribadi Ashraf.

Hot and ColdDär berättelser lever. Upptäck nu