"Aku rasa dia belum sepenuhnya sembuh dari luka masa lalunya, Rine."

"...."

"Entah apa alasan pernikahannya gagal, tapi aku yakin itu bukan keputusan Ashraf."

"Jadi, maksud kamu itu karena Jessica?"

Bella sedikit terkejut. "Kamu kenal dia?"

"Aku pernah bertemu dia beberapa kali dan ... ya, aku sudah tau soal hubungan Ashraf dengan dia dulu. Tapi nggak sebanyak itu."

Bella mengangguk-angguk. "Well, dari yang aku tahu, dulu Ashraf memang sangat mencintai Jessica. Dia pasti sangat terluka dengan perpisahannya pada saat itu. But what I want to say is ... healing is never easy, Rine. Itu juga mungkin berlaku dengan Ashraf, dan bisa saja itu jadi alasan, mengapa Ashraf memilih untuk tidak membiarkan orang lain mencintainya. Entah karena dia takut dikecewakan lagi ... atau dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan luka di hatinya."

***

Sepanjang perjalanan Rine hanya menatap ke luar jendela seraya memikirkan semua perkataan Bella. Rupanya, Rine baru mengenal Ashraf sekitar 10% dari diri lelaki itu yang sebenarnya. Jauh di dalam sana, ada banyak hal yang belum sepenuhnya Ashraf tunjukkan kepada Rine, dan masih banyak hal yang harus Rine cari tahu tentangnya.

"Sudah sampai, Mbak."

Rine mengerjap. Ia melihat ke depan dan ternyata kini ia sudah sampai di rumah orang tua Ashraf. Rine lantas keluar, dirinya kini mengenakan dress merah yang dibelinya tadi. Malam ini kedua orang tua Ashraf mengadakan backyard dinner party untuk perayaan anniversary pernikahan mereka. Undangan yang datang pun mulai dari kerabat hingga rekan dekat yang mulai memenuhi halaman belakang rumah mereka. Lampu-lampu kecil menghiasi pohon-pohon dan membentang di atas meja bundar yang sudah tertata rapih. Buffet dengan berbagai makanan pun tersedia di sana.

"Mah, happy anniversary." Rine memeluk Winda—mamah tiri Ashraf. Ia lalu memberikan bingkisan kado yang berisi cangkir keramik mengingat Winda begitu suka minum teh.

"Terima kasih, Rine ...." Tersenyum menerima kado tersebut. "Kamu datang sendiri?"

"Iya, nanti Ashraf menyusul kok mah. Dia sudah di jalan."

Winda mengangguk-angguk.

"Papah mana?"

"Itu." Terlihat Setyo sedang mengobrol dengan rekan-rekannya. Rine yang semula ingin menyapa pun mengurungkan niat.

"Yuk duduk, Rine." Ajak Winda merangkul Rine menuju meja khusus keluarga mereka.

Tidak lama kemudian, saat Rine sedang mengobrol dengan Winda dan kerabat dari keluarga Ashraf, perhatiannya teralih ketika lelaki itu muncul, mengenakan pakaian casual—turtleneck sweater yang senada dengan celana hitamnya. Ashraf menyapa Setyo lebih dulu, kemudian beberapa rekan Setyo yang sedang bersamanya. Di hadapan orang lain, hubungan Ashraf dan Setyo terlihat dekat layaknya anak dan ayah.

Usai mengobrol singkat, Ashraf pun menghampiri tempat Rine. Ia memberikan selamat kepada Winda, lalu duduk di sebelah Rine.

"Bagaimana kabar kamu, Raf?"

"Baik tante. Terima kasih."

"Kapan-kapan ajak Rine main ke rumah tante dong, itu om kamu juga nanyain terus kapan kamu mampir ke kantor katanya."

Ashraf berusaha untuk tersenyum tipis. "Iya tante, nanti kapan-kapan saya mampir."

Wanita itu pun tersenyum lalu ia kembali ke mejanya. Kini tersisa Rine, Ashraf, dan Winda yang duduk di hadapan mereka. Suasana meja itu pun seketika menjadi hening, hingga Setyo datang ke meja mereka dan membuka acara, memberikan sambutan terima kasih kepada undangan yang sudah hadir. Saat Setyo sedang sibuk berbicara di depan, muncul seorang lelaki berjalan dengan santai, ia menarik kursi di sebelah Ashraf dan duduk di sana.

Hot and ColdWhere stories live. Discover now