22. Antara logika dan hati

849 139 11
                                    

Bibir yang tadi tersenyum itu kini menyeringai namun tetap terlihat menawan meski tampa memakai pewarna

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bibir yang tadi tersenyum itu kini menyeringai namun tetap terlihat menawan meski tampa memakai pewarna.

"Kukira kakak tidak mengingatnya" ujar Shallimar santai, dia beranjak dari lantai dan duduk bersandar di sofa dengan menyilangkan kakinya.

"Saat itu aku hanya sedikit mabuk, bukan tidak sadar, aku bahkan mengingat baju tidur yang kau kenakan malam itu" Bima yang awalnya berdiri di depan pintu berjalan masuk dan duduk di sofa single depan Shalimar.

"Kenapa kau membongkar identitasmu, dia bisa menganggap kita gila dan memasukkan kita ke rumah sakit jiwa" Salima mulai merasa cemas.

"Jangan khawatir! Kak Bima bukan orang seperti itu?"

Bima mengerutkan dahinya "kau bicara dengan siapa? hanya ada aku disini"

Saking penasarannya Bima bahkan mencondongkan tubuhnya, terkesan mendesak agar pertanyaannya segera di jawab. Dia tidak ingin berprasangka lagi. Lebih baik to the point dan tanyakan lansung ke yang bersangkutan.

"Aku bicara dengan saudariku, Salima" jawab Shalimar santai. Sementara Salima hanya bisa pasrah.

"Saudari?" Lipatan di dahi Bima makin bertambah.

"Kami adalah saudari kembar, yang menempati satu raga sejak Salima teradadar dari koma, aku sebenarnya sudah lama tiada, bahkan tidak sempat terlahir ke dunia. 3 tahun ini kami terus bersama di dunia tak kasat mata, hingga suatu kejadian menyebabkan jiwaku ikut menyatu di raga saudariku" jelas Shalimar gamblang.

Bima tertawa setelah terdiam beberapa detik, hal yang baru saja di dengarnya sangat tidak masuk akal "apa kau coba mempermainkanku dengan mengarang dongeng seperti itu?" Ujarnya sinis, wajahnya kini tepat berada di depan wajah Shalimar.

Shalimar meraih wajah Bina dan membingkainya dengan kedua tangannya. "Jika kau bisa percaya aku adalah Shalimar, lalu kenapa tidak dengan ceritaku tadi, aku memang tidak bisa membuktikannya karena kami adalah anak yang tidak di inginkan, tidak ada keluarga yang bisa kau tanyai. Hanya ada aku dan Salima"

"Apa yang kudapatkan dengan menpercayaimu?"

"Ketenagan, kau tidak akan lagi penasaran, aku akan menjawab semua pertanyaanmu, termasuk kenapa aku sering bicara sendiri"

Shalimar melepaskan wajah Bima dan kembali bersandar nyaman di sofa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bima.

"Kami bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhkuk tak kasat mata, entah itu hantu atau jin, biasanya kami mengabaikan mereka, kecuali jika mereka bisa menolong kami, seperti saat kejadian Andini tempo hari"

"Ini tidak masuk akal" Bima masih menolak untuk percaya, sebagai dokter, dia terbiasa dengan segala sesuatu yang ada penjelasan ilmiahnya, penyatuan jiwa dan hantu bertentangan dengan logikanya.

"Sepertinya ini pembicaraan yang sia-sia, kau bertanya dan aku menjawab, kalau kau tidak percaya itu urusanmu" ujar Shalimar tampa beban " lupakan saja kalau kita pernah membahas ini, mari bersikap seperti biasa, seperti kakak adik pada umumnya"

Twin S (End)Where stories live. Discover now