[42] Satu Pengharapan

527 34 29
                                    

Satu hal yang perlu semesta tahu. Bahwa aku, selalu menemanimu. Ada atau tiada di dunia. Namun, aku abadi, di hatimu. Benar begitu, bukan?

Happy Reading❄️

***

Suara bising dari derap langkah kaki itu menggema di lorong rumah sakit yang sore ini mulai sedikit sepi. Hanya ada beberapa perawat dan dokter yang terkadang mengimbangi langkah dari Syra, Farhan, Adit dan Satria.

Keempatnya tengah menuju ruang ICU. Ruang di mana selalu menciptakan ketakutan mendalam bagi Syra. Ia harus ke sana lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya.

Sesekali, Syra mengepalkan tangan membuat kuku-kukunya mungkin memutih, deru napasnya tidak pernah teratur kala mendapatkan kabar tentang kondisi Haikal, seseorang yang selalu dia harapkan baik-baik saja.

Tidak berapa lama, langkah Syra kemudian terhenti diikuti oleh Farhan, Adit dan Satria. Ia menatap lama ruang putih yang kini telah berada persis di hadapannya. Sejenak Syra menggigit bibir bawah dengan perasaan campur aduk memenuhi dada, hingga ... satu tepukan dari Farhan menyadarkan.


Syra menoleh, menatap sang Abi yang berada di samping kirinya.

"Berdoa, Nak. Dan jangan terlalu banyak menangis lagi. Kamu paham, kan?" pinta Farhan. Syra mengangguk pelan, terlihat ragu.

"I-Insyaa Allah, Abi," cetusnya lalu sedikit menunduk.

Farhan menanggapi dengan senyum tipis. Kemudian, tanpa mengulur waktu, ia memegang gagang pintu rumah sakit dan memutarnya secara perlahan.

Lagi dan lagi, Syra merasa ketakutan.

Saat daun pintu telah terbuka sempurna, Syra dibuat terperengah dengan seluruh anggota keluarga dan beberapa dokter yang ternyata telah lebih dulu berada di dalam. Raut wajah mereka semua datar, tetapi, mata sembab dari Amina dan Zulfa menjadi objek yang merebut atensi Syra untuk sementara.

"Lama sekali, Nak..." Zulfa menyahut, wanita paruh baya itu menghampiri Syra dan mengelus bahu sang menantu. Mata Zulfa berkaca-kaca membuat Syra bertambah sedih karenanya.

Tidak lama, seluruh anggota keluarga yang menghalangi ranjang pesakitan perlahan menggeser posisi, membuat atensi Syra teralih lagi. Namun, kali ini rasa sesak itu seakan hilang.

Entah kemana, Syra tidak mengetahuinya. Kala menatap sesosok pria tengah terbaring lemah di sana, merebut segala dunianya, membuat Syra lupa jika ia tidak sendiri saat ini.

Mata sipit dengan iris berwarna hitam itu pun balas menatapnya dengan sebuah senyum yang menghiasi wajah.

Haikal masih bersamanya...

Dokter itu masih ada, masih diberi umur panjang oleh Allah.

Namun, sekian menit kemudian Syra menunduk membiarkan air matanya luruh."Terimakasih telah membuat dia tetap di sini, ya Allah. Maha Baik Engkau, atas segala takdir indah-Mu..." Ia bergumam, yang mungkin saja tidak didengar oleh siapapun. Hanya dia dan Allah.

"Dia baik-baik saja, Nak. Hanya jahitan yang terlepas ... tapi dia baik-baik saja," ucap Zulfa menenangkan. Syra diam, untuk sesaat.

Sampai, ia kembali mendongak dengan wajah memerah dan mata sembab.

"Dokter Noval bilang kalau Haikal itu bandel," tambah Zulfa, ia terkekeh saat melirik Haikal yang mengulas sebuah senyum."Seharusnya gak boleh banyak gerak, tapi ...."

Zulfa menggantungkan ucapan tatkala melihat dokter Noval ikut tersenyum di samping ranjang Haikal. "Dokter Haikal sekarang baik-baik saja, itu yang terutama. Tapi saya mohon, untuk kedepannya jaga kondisi tubuh dia dengan baik, jangan bergerak jika tidak diperlukan," beritahu dokter berusia 30 tahun itu, meneruskan ucapan Zulfa.

Lintas Rasa (Selesai)Where stories live. Discover now