[35] Tempat Ternyaman Untuk Pulang

527 26 3
                                    

Meski bukan berbentuk bangunan, nyatanya kamu mampu jadi tempat ternyaman untuk pulang.

-Haikal Dzulhansyah

.
.
.

.

Happy Reading❄️

***

Haikal menghembuskan napas berat kala laju mobil membawanya menyusuri jalan pagi Ibu Kota Jakarta.

Beberapa menit yang lalu, pesawat yang ia dan sang Papa tumpangi sempurna mendarat di Bandar udara Jakarta, dan saat sampai di sana mereka langsung bertemu dengan jemputannya.

Tetapi sebelum itu, Haikal tadi sempat menerima telepon dari rumah, jika mungkin Zulfa, Ziya dan Syra tidak ikut menjemput karena Zulfa mengatakan jika istrinya itu sedang demam.

Khawatir? Tentu saja. Haikal bahkan tidak tenang dalam perjalanannya pulang. Beberapa kali ia menepuk-nepuk paha dan mengubah posisi duduknya.

Aziz yang bersama Haikal hanya mampu menggelengkan kepala melihatnya.

"Kal, duduk dengan tenang. Kan, Mama juga bilang kalau Syra cuma demam biasa dan gak.ada yang perlu dikhawatirkan."

Haikal beralih menatap Aziz yang duduk di sampingnya. "Haikal gak bisa tenang sebelum mastiin sendiri, Pa."

Mendengar itu, Aziz hanya mampu menghela ringan. Sikap Haikal sebenarnya sedikit mirip dengan dirinya ketika awal menikah dulu; selalu ingin memastikan bahwa sang istri baik-baik saja. Hingga, mungkin akan terlihat sedikit berlebihan.

Beruntung jalan Ibu Kota Jakarta tidak terlalu ramai pagi ini sehingga hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit mereka akhirnya tiba di depan rumah.

"Tolong keluarkan barang dan bawa ke dalam, ya, Pak. Sisanya biar saya sama Haikal," pinta Aziz pada supir pribadinya. Pria setengah baya menurut.

Sementara Haikal ikut turun dan langsung mengambil jatah bawaannya yaitu tas ranselnya sendiri beserta satu koper besar berisi oleh-oleh untuk orang rumah.

"Assalamualaikum," salam Haikal sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Ia menoleh kanan dan kiri. Namun, yang ia temukan hanya Zulfa dan Ziya yang menyambutnya di ruang tengah.

"Wa'alaikumussalam." Terdengar suara Zulfa dan Ziya bersamaan.

"Kak Haiklal!" Ziya langsung menghampiri Kakaknya itu. Haikal tersenyum lalu mengelus puncak kepala Ziya dengan sayang

"Papa mana, Nak?" tanya Zulfa, Haikal beralih menghampiri Mamanya itu dan langsung mencium punggung tangannya.

"Ada di luar, Ma. Syra mana?" Haikal balik bertanya.

"Ada di kamar, lagi istirahat," jawab Zulfa. Haikal spontan menatap ke atas, lebih tepatnya ke lantai dua rumah. Zulfa yang melihatnya menggeleng dengan senyum tipis. "Sana temuin Syra, dia juga kelihatannya tunggu kamu daritadi," lanjutnya membuat fokus Haikal teralih.

"Boleh, Ma?" tanyanya memastikan. Haikal hanya tidak enak jika harus pergi begitu saja, apalagi dia baru kembali.

Zulfa mengangguk meyakinkan. "Iya boleh, nanti kita bicaranya habis kamu pastiin kalau istri kamu baik-baik aja," candanya setengah menggoda. Ziya mengulum bibir menahan senyum.

Lintas Rasa (Selesai)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant