Di sana Pram duduk bertekuk lutut menyandarkan tubuhnya pada dinding sambil memegang sebuah buku. Jenaka yang ingin mengambil minum tiba-tiba membatalkan niatnya. Gadis itu kembali ke kamar untuk mengambil selimut juga bukunya yang tak kunjung dibacanya tadi gara-gara melamun.

Jenaka mendekat ke arah Pram membuat pria itu mendongak dari bukunya. Pria itu telah berganti pakaian. Rambutnya yang selalu rapi kini jatuh mengenai keningnya dengan kacamata frame stainless besar membingkai dua mata tajamnya.

"Nona? Tidak tidur?" tanyanya dengan suara serak.

Jenaka tak menjawab. Ia menyampirkan selimut besar itu pada pundak Pram dan dirinya ikut bergabung ke dalamnya. Jenaka duduk di samping Pram dengan sisi tubuh mereka yang saling bersentuhan. Pram sempat terkejut akibat kedekatan mereka yang begitu tiba-tiba. Namun perlahan rasa hangat dan nyaman menyelimutinya membuat pria itu kembali santai. Pram sengaja sedikit menyandarkan tubuhnya pada tubuh Jenaka di sampingnya.

"Kenapa tiba-tiba bergabung?' tanya Pram yang mengeluarkan bukunya dan ikut membaca bersama Jenaka.

"Tuan kelihatan kedinginan."

Pria itu tertawa kecil. "Benar sekali."

"Kenapa tidak menunggu di dalam?"

"Kasihan Jati, dia butuh istirahat."

Setelah itu ada keheningan di antara mereka. Jenaka memilin selimutnya dengan gugup. Pram bisa melihat jari-jari Jenaka yang meremas selimut. Rasanya ingin memegang tangan gadis itu agar Jenaka bisa berhenti gugup.

"Nona Jenaka, saya sudah tahu rahasia Nona tentang Nona Jenaka yang berasal dari masa depan. Bukankah itu sudah cukup untuk menceritakan semuanya kepada saya? Pram mengetuk pelan jari-jari Jenaka dengan telunjuknya. Tidak ingin menyentuh gadis itu di luar batas kesopanan. "Saya berjanji tidak akan mengatakan apa pun, kepada siapa pun."

Jenaka mendongak untuk melihat ke arah pria itu dna Pram tersenyum simpul menenangkan Jenaka. Membuat Jenaka menghela napas panjang.

"Pram. Saya... ingin memberitahu sesuatu. Tapi bisakah ini menjadi rahasia kita berdua saja?'

Pram menoleh ke samping dan mendapati Jenaka tengah menatapnya lekat. Pria itu tercekat sesaat. Wajahnya merona akan kedekatan wajah mereka. Pram mengalihkan pandangannya untuk menetralkan degup jantungnya yang sangat aneh setiap kali dirinya dekat dengan Nona yang baru dikenalnya itu. Pram mengangguk memberikan janjinya kepada Jenaka.

"Apapun yang terjadi. Rahasia ini hanya boleh kau saja yang mengetahuinya. Maka dari itu saya membutuhkan bantuan Tuan Pram."

Pram menatap iris hitam di depannya. Pendar cahaya api dari lampu minyak yang terletak di atas meja di samping lain tubuhnya memantul dengan indah di iris itu. Juluran lidah apinya yang kecil bergoyang di sana.

"Saya berjanji untuk menjaga rahasia di antara kita. Tapi sepertinya, agak sulit untuk berjanji untuk membantu Anda, Nona."

Jenaka menyentuh lengan Pram, kedua alisnya berkerut merasa sedih. Matanya berbinar seperti sebuah bola kristal. Pram sampai harus mengalihkan pandangannya karena jika ia terus menatap sepasang bola mata itu. Jelas, Pram akan kalah.

"Saya hanya punya kamu saat ini, Pram. Bahkan Cantika pun tidak bisa menolong saya.."

"Nona..."

"Pram. Jika ... jika ini tidak terjadi ... saya tidak akan ada di masa depan."

Pram mengernyit bingung.

"Apa maksud Nona?"

"Saya ... saya adalah cucu buyut dari Raden Ajeng Cantika dan Jati Aryadiningrat."

Pram terdiam. Ia melihat Jenaka dari atas hingga bawah kemudian menggeleng.

"Percobaan yang baik untuk mengelabui saya, Nona."

"Saya serius! Coba saja kamu perhatikan kemiripan wajah kami! Selain itu saya tidak mungkin percaya sembarang orang kan? Kenapa saya bertahan dengan Cantika, karena Cantika adalah nenek buyutku dan satu-satunya orang yang saya kenal di tempat ini."

Pram tertawa dan menggeleng masih belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jenaka.

"Itu tidak mungkin, Jenaka. Raden Ajeng hanya akan menikahi Raden Panji. Dan Jati hanyalah anak angkat dari Raden Panji. Itu tidak akan terjadi."

"Saya berani bersumpah, Pram! Buat apa saya berbohong? Saya sama sekali tidak diuntungkan dari membohongimu!"

Pram mengernyit karena merasa begitu juga. Tidak ada gunanya untuk Jenaka berbohong kepada seseorang yang sudah mengetahui rahasia terbesarnya. Namun tetap saja rasanya sangat salah.

"Tapi mereka akan menetapkan hari pernikahan."

"Saya juga tahu itu! Maka dari itu saya meminta meminta pertolongan padamu, Pram. Bisakah kau membantuku untuk membatalkan pernikahan Cantika dan pria tua bangka itu?"

"Jenaka ... ini adalah permintaan yang sulit. Mereka berdua saling mencintai."

"Tidak! Ya ... mungkin Raden Panji mencintai Cantika..." Jenaka sungguh tidak ingin menyebut apa yang dirasakan oleh Raden Panji kepada Raden Ajeng adalah cinta. Sudah jelas pria itu membuat dirinya tampak lebih baik dan memberikan banyak kebaikan kepada Raden Ajeng agar ia bisa mendapatkan hati Raden Ajeng yang masih muda dan polos. Mungkin orang lain melihat itu sebuah ketulusan tapi di mata Jenaka itu adalah manipulasi anak di bawah umur!

"Dan Cantika juga berniat untuk meneruskan pernikahan ini tapi Cantika mencintai pria lain, Pram. Pram ... tolong ... Cantika tidak akan bahagia bersama Raden Panji!"

Jenaka mencengkram tangan Pram lebih erat. Pria itu menghela napas panjang. Pernikahan Raden Panji dan Raden Ajeng sudah berada di depan mata. Raden Panji juga sudah mempersiapkan semua yang dibutuhkan tinggal dibawa ke kediaman Raden Ajeng.

Sebenarnya Pram juga sadar bahwa di mata Raden Ajeng ada keraguan untuk menerima cinta dari Raden Panji tapi dari semua sikap yang perempuan itu tunjukkan sama sekali tidak ada penolakan.

"Lalu bagaimana kita akan menghentikan pernikahan ini? Raden Panji memiliki kelompok pengikut setia yang sangat kuat, Wedana mungkin masih memiliki darah bangsawan tapi statusnya bisa digantikan oleh siapa pun oleh Bupati. Saya juga bukan seseorang memiliki kekuatan untuk melawan mereka, Jenaka. Saya hanya seorang Jaksa..."

Jenaka menunggu jawaban Pram. Ia melepaskan cengkramannya dan duduk memikirkan nasib Cantika.

"Tidak apa-apa jika tuan tidak ingin membantu. Saya akan melakukannya sendiri."

Jenaka bangun dari tempat duduknya dan memberikan selimut untuk Pram kenakan.

"Jenaka, apa yang akan kamu lakukan?"

Jenaka mengedikkan bahunya tak menjawab pertanyaan Pram. Gadis itu menuju dapur untuk mengambil segelas air seperti niat awalnya dan kembali ke kamar. Pram masih duduk di tempat mencerna semua yang Jenaka katakan dan menimang-nimang langkah apa yang harus ia lakukan.

***

Jangan lupa vote dan komennya yaaa ^^

Surat Untuk Jenaka (Complete)Where stories live. Discover now