46

6.3K 1K 74
                                    

Mereka berhasil kabur dari hotel dengan membawa bukti buku tamu pengrajin berlian. Sisa berkas tak berguna yang juga Jenaka kumpulkan dibuang Pram di tong sampah agar tak ada yang menemukan jejak mereka.

Ketiganya tiba di penginapan. Jenaka beristirahat sejenak untuk berganti pakaian. Pram bilang ia akan mengajak mereka untuk makan siang bersama. Mereka tidak bisa mengenakan pakaian yang sama seperti yang mereka gunakan untuk menyamar di hotel. Itu namanya sama dengan bunuh diri.

Saat berada di kamar sendirian, Jenaka jadi banyak berpikir. Tak ada Jati atau Pram yang mempengaruhi penilaiannya, ini adalah waktu yang tepat untuk Jenaka menilai apakah mereka butuh bukti tambahan atau tidak.

Dan Jenaka menyimpulkan bahwa apa yang disampaikan benar! Justru dengan Jati menyembunyikan keterlibatan Raden Ayu Kartika dalam konspirasi pembunuh Raden Panji membuat apa yang mereka lakukan saat ini sia-sia.

Sia-sia dalam artian mereka melakukan ini untuk menghukum penjahat seadil-adilnya. Mereka yang memanfaatkan kondisi Raden Ajeng tentu harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Bukan kah hukum diadakan untuk mengadili orang dengan adil? Yang salah harus dihukum, yang benar harus dibersihkan dari segala tuduhan.

Jenaka membuka sedikit jendela kayu kamarnya untuk melihat keramaian orang di depannya. Banyak orang di sana yang bergerak lalu lalang tanpa memikirkan orang lain. Mereka hidup sebagai peran utama di kehidupan mereka masing-masing. Tak peduli itu harus mengorbankan orang lain, mereka berbondong-bondong mengejar akhir bahagia untuk kehidupan mereka.

Ada yang berakhir bahagia, ada juga yang berakhir tragis. Semua yang mereka lakukan pasti akan menimbulkan konsekuensi. Bagaimana pun mereka mencoba untuk mencuci tangan suatu saat karma akan datang menggigit mereka untuk mengembalikan keadilan.

Adil? Sebenarnya apa arti kata adil itu sendiri?

"Hah ... bahkan pertanyaan itu saja tidak bisa dijawab oleh papa," gumam Jenaka yang kembali menutup jendelanya.

Pintu diketuk dari luar.

"Jenaka, waktunya makan," panggil Pram.

Jenaka pun meninggalkan kamarnya untuk ikut bersama Pram. Jati sudah menunggu di dekat pintu dan mereka bertiga berjalan bersama meninggalkan penginapan.

Tibalah ketiganya di sebuah restoran. Pram mengajak keduanya untuk masuk. Antara Jati dan Jenaka masih terdapat suasana canggung dan mereka berdua seperti masih enggan untuk berbicara satu sama lain.

Pram membiarkan keduanya untuk memesan makanan terlebih dahulu.

"Kamu nggak makan, Pram?" tanya Jenaka ketika mendapati Pram yang langsung memberikan pesanan mereka kepada pelayan.

"Ah, maaf. Tidak ada waktu. Saya harus segera ke kantor pos untuk mengirimkan bukti-bukti ini kepada Iskandar dan meminta Iskandar untuk mengirimkan orang-orangnya menyusul kita. Saya khawatir jika kepolisian di tempat ini sudah mengenal Raden Jaya jadi saya tidak ingin adanya kemungkinan kebocoran informasi."

Pram pun berdiri. Pria itu menyentuh pundak Jati yang duduk melongo melihat Pram yang akan meninggalkannya sendirian bersama Jenaka.

"Jati, titip Jenaka, ya. Saya harus pergi cepat. Setelah makan langsung pulang ke penginapan. Jika ingin bepergian tunggu sampai saya kembali."

"Pram tunggu!"

"Pram tunggu!" panggil Jenaka dan Jati bersamaan.

Pram sama sekali tidak menoleh ke belakang. Pria itu meninggalkan Jenaka dan Jati berduaan saja. Benar-benar hanya berdua. Dan seperti yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya, keduanya tak ada inisiatif untuk mengangkat suara memulai obrolan.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Where stories live. Discover now