20

7K 1.1K 16
                                    

Song of the day: Santai by Nonaria

Jenaka melihat wajah Jati yang penuh akan luka. Pipinya membiru seperti mendapatkan banyak pukulan. Memar itu cukup banyak. Di atas alis, hidung, pipi hingga dagu. Jenaka sedikit ragu untuk mendekat. Ia takut karena Pram akan pergi selama lima menit dan meninggalkannya seorang diri. Pria itu berjanji seperti itu. Ia berdoa agar Jati tidak bangun sebelum lima menit.

Jenaka segera bangun dan bernapas lega ketika melihat Pram yang kembali tepat lima menit bersama seorang pria berkumis tua. Punggung Pram basah memegangkan payung untuk dokter yang dipanggilnya. Sang dokter sempat bertatapan mata sebentar bersama Jenaka tapi hanya sepersekian detik saja kemudian berlari menuju Jati yang tak kunjung bangn dari pingsannya.

"Sudah jelas jika Tuan muda dihajar dengan keras," ujar dokter itu.

Jenaka memberikan Pram sebuah handuk. Gadis itu sempat terkejut ketika mendengar Pram mengumpat untuk pertama kali.

"Sial, saya seharusnya tahu kalau ini akan terjadi. Anak ini sangat keras kepala," gumamnya.

"Saya hanya akan membersihkan lukanya. Tuan Jaksa bisa meminjamkannya pakaian hangat. Sepertinya Tuan Muda juga sudah lama berada di bawah hujan karena tangannya mulai berkeriput dan bibirnya juga sudah membiru."

Pram dan dokter yang dipanggilnya sibuk sendiri. Jenaka hanya bisa melihat dari pinggir. Ia bertanya-tanya siapa yang berani sekali menghajar kakek buyutnya sampai babak belur seperti ini? Bukannya bermaksud tidak sopan, tapi Jati tetap harus mempertahankan wajah tampannya agar membuat Raden Ajeng tetap menyukai pemuda itu!

"Tuan Mantri, bisakah membantu saya untuk membawa Jati masuk ke kamar saya?"

"Tentu!" Jenaka memiringkan tubuhnya untuk memberi jalan kepada Pram untuk lewat. Setelah Pram dan dokter itu mengangkat Jati masuk ke kamar milik Pram, Jenaka membereskan sepatu, kaos kaki juga dasi milik Jati yang basah. Gadis itu juga mengambil kain kering dari dapur untuk mengeringkan sofa milik Pram yang basah.

Setelah menunggu sendirian sambil memikirkan banyak kemungkinan mengapa Jati bisa datang ke rumah Pram, tiba-tiba kamar Pram kembali terbuka. Pram mengantarkan dokter yang merawat Jati tadi meninggalkan rumah. Setelah memastikan dokter itu meninggalkan pekarangannya, Pram kembali mengunci rumahnya.

"Maaf membuatmu panik, Nona. Tapi Nona istirahat saja. Semuanya sudah kembali seperti semula."

Jenaka tak banyak protes. Gadis itu kembali ke kamarnya dan berbaring di atas tempat tidur. Ia mengusahakan untuk kembali membaca sisa bukunya yang sebentar lagi selesai. Tapi mau dipaksa bagaimana pun, Jenaka tak bisa fokus. Pikirannya selalu kembali kepada Jati yang tak sadarkan diri di kamar milik Pram.

Jenaka ingin bertanya tapi ia bingung. Banyak sekali pertanyaan yang berputar di atas kepalanya. Mulai dari mana Jati bisa mengenal Pram. Mungkin karena Pram berteman dengan ayah angkatnya, Raden Panji, tapi untuk datang meminta tolong di ujung nyawanya seperti ini rasanya butuh kepercayaan besar dari sekadar mengenal dari ayahnya saja.

Selain itu Jenaka juga ingin tahu mengapa Jati bisa sampai babak belur seperti itu. Apakah Jati memiliki musuh? Jika iya, Jenaka tidak ingin Cantika menikah dengan seseorang yang punya banyak musuh. Ia ingin nenek moyangnya hidup bahagia, tenang bersama cinta seJatinya.

Dan yang Jenaka yakini Raden Panji bukanlah cinta seJati Raden Ajeng. Meski pun Raden Ajeng menunjukkan kesediaannya untuk menikah dengan pria itu, Jenaka tidak akan setuju! Sebaik apa pun sosok Raden Panji!

Jenaka menghabiskan waktunya lebih lama melamun. Belum pernah ia melamun seperti ini sebelumnya.

Di tengah malam ketika ia sudah mulai lelah dan bukunya sudah berjam-jam tak dibacanya, Jenaka memutuskan untuk minum segelas air dan memaksa dirinya untuk tidur saja. Namun ketika ia meninggalkan kamarnya untuk menuju dapur, ia melihat lampu minyak dengan pendar jingganya menyala di dekat pintu kamar Pram.

Surat Untuk Jenaka (Complete)Where stories live. Discover now